“Gadis Malang dalam Naungan Sorban”
Oleh : Subhan, S.Pd
(Guru SMAN 1 Besuk)
Bunyi
kereta api itu mengagetkan jantungku, seperti bunyi terompet yangseolah
berteriak memanggil penumpang untuk segera memasukinya. Aku dan
keluargaku yang sudah sejak tadi menunggu, bergegas mendekati kendaraan
empat persegi panjang itu.Ibuku mengusap keringat didahinya dengan
kerudung merah muda yang ia kenakan waktu itu, karena sejak tadi
kepanasan duduk di lantai samping deretan kursi panjang karena tidak
kebagian tempat duduk. Serasa terobati setelah sekian lama menunggu,
akhirnya kami terangkut juga. Ayah yang sejak tadi telah menghabiskan
beberapa batang rokoknya, mengangkat semua tas besar yang kami bawa.
Disusul adik yang berlari mengikuti langkah ibu yang tergesa-gesa menuju
pintu kereta api. Sungguh perjalanan yang melelahkan, gumamku dalam
hati.Aku meninggalkan kampung itu setelah satu minggu tinggal disana,
menuai maaf dihari yang fitri dengan sanak famili dari keluarga ibuku.
Keluarga yang sudah tidaklengkap lagi, karena bapak dari ibuku,yaitu
kakekku sudah meninggal dua tahun yang lalu.Hanya nenekku saja yang
masih terlihat sehat walaupun sudah tua.Sekolahku kebetulan libur selama
sepuluh hari, jadi kami menghabiskan liburan bersama dikampung dengan
sejenak melepaskan pikiran yang sehari-hari terasa penat kami jalani.
Tempat
duduk kami didalam kereta tersebut saling berhadapan.Aku satu kursi
dengan ayahku, sedangkan ibu duduk satu kursi dengan adikku.Dia memang
terlihat manja, diusianya yang sudah beranjak 6 tahun, dia masih tidak
bisa lepas dari ibu.Meskipun nakal, aku tetap sayang padanya.Kami selalu
main bersama dirumah yang kadang diwarnai dengan pertengkaran kecil
hanya karena masalah sepele, yaitu berebut mainan dan makanan.
Kereta
mulai bergerak melaju dengan pelan, menyisakan kenangan dikampung yang
sejuk dengan semilir angin dan riuh dengan kicauan burung.Cukup hening,
karena jauh dari bisingnyasuara mesin sepeda motor dan mobil. Sawahnya
yang terbentang luas, sehingga tampak ayunan padi yang sudah mulai
menguning, pertanda sebentar lagi akan dipanen oleh pemiliknya. Gelak
tawa dan canda, mewarnai perjalanan kami.Lemparan bola adikku tak
kudiamkan, bola dan bonekaku kerap kali kulemparkan kewajahnya.Sehingga
tampak di dalam ruangan kereta apiitu,ramai dengan teriakan dan gelak
tawa kami.
Hari mulai beranjak malam, dengan rintik hujan yang
terlihat dan mengembun dibalik kaca jendela kereta yang akutumpangi.Aku
usap kaca jendela itu, dan kutatap suasana diluar sana yang tampak mulai
sepi. Sayup-sayup suara adzan yang terdengar menggerakkan nuraniku
untuk kembali mengingat Sang Kuasa.Keadaan darurat telah menghalangiku,
untuk kembali bersujud menghadapnya.Biarlah nanti aku qadha’ saja
sholatku sesampainya dirumah.Akuperkirakan, sekitar jam 01.00 nanti kami
semua sudah tiba dirumah.
Dari kejauhan, tampak gemerlap lampu
seperti kunang-kunangberjajar lurus dan terlihat kabur bila yang tampak
lampu yang sedikit agak jauh.Terdengar juga disampingku, suara yang tak
asing selalu kudengar bila malam menjelang dirumahku, yaitusuara ngorok
ayahku.Tampak pula ibu dan adikku mulai memejamkan mata, terlelap dalam
keremangan malam.Terbayar sudah keletihan mereka dalam sandaran kursi
kereta itu. Lama juga akududuk terdiam, menatap suasana keremangan malam
dengan rintik hujan yang juga masih belum reda diluar kereta sana.
Lamunanku terhenti, kala terdengar suara lembut dan serak memanggil
disebelahku.
“Ani belum tidur?” terdengar suara ibuku yang terbangun dari tidurnya.
“Belum nih Bu,soalnya masihbelum ngantuk sih,” sahutku menjawab pertanyaan ibu.
“Oh iya, kamu sudah mulai masuk sekolah hari senin depan ini kan?” tanya ibuku lagi.
“Iya,
Bu. Masih dua hari lagi.Liburan kali ini Ani hampir tidak membaca buku
pelajaran sama sekali, sudah banyak yang Ani lupa tentang pelajaran
disekolah, keenakan bermain dikampung sih sama nenek.”
“Ya sudah,
nanti kalau kita sudah sampai dirumah, yang rajin ya belajarnya, apalagi
sebentar lagi kamu akan ikut Ujian Nasional. Tapi jangan lupa sholatnya
yang rajin dan juga banyak berdoa agar hati kita dibukakan oleh Allah,”
lanjut ibu sedikit menasehati.
“Iya, Bu. Ani akan belajar dengan
rajin serta tidak akan meninggalkan sholat, dan Ani juga akan banyak
berdoa supaya nanti ketika ujian diberikan kemudahan,” jawabku membalas
nasehat ibu.
“Sekarang sudah malam, lebih baik kamu tidur saja dulu, beberapa jam lagi kita sudah sampai dirumah,” pinta ibu padaku.
“Iya, Bu. Ani akan tidur sekarang,” lanjutku membalas permintaannya.
Aku
sandarkan tubuhku dikursi kereta, dan akuikat kerudung yang
kukenakan.Tampak ibu terbangun, menggerakkan tangannya dan mengusap
lembut keningku.Damai dan teduhnya hatiku, kala kehangatan kasihnya
terpancar dari usapan lembut tangannya.Tidak hanya disitu kurasakan
kasihnya, ketika dirumah, dia tidak pernah memarahiku tanpa alasan yang
jelas. Kalaupun dia marah padaku karena kesalahan yang kuperbuat,
iaseolah tidak terlihat marah tetapi seperti memberiku sebuah nasehat.
Aku dan adikku, tidak pernah mendapatkan perbedaan dalam mendapatkan
kasihnya, ia mampu membagi kasihnya sekalipun dengan ayahku. Dia jarang
memintaku untuk membantunya, sekedar untuk menyuruh menyapu rumah atau
membantunya mencuci piring. Aku pun sadar diri, sebagai seorang
perempuan yang sudah mulai beranjak remajakarena dua bulan lagi umurku
sudah genap lima belas tahun, tanpa disuruh aku pun sedikit meringankan
bebannya walau hanya menyapu, mencuci piring atau bahkan membantunya
mencuci pakaian.
Aku tatap wajahnya penuh kehangatan, terlihat sayu
dalam keremangan, terlihat merona dalam kelam dan pekatnya malam.Dia
bukan hanya sebagai ibu bagiku, tapi seperti sahabat yang mampu
meringankanku dalam kesedihan, tempat berkeluh-kesah ketika aku memiliki
masalah, dan berbagi ceria kala kami sedang bahagia.Akulihat jam
dipergelangan tanganku sudah menunjukkan pukul 21.00 malam.Semakin
hening kurasakan, hanya suara roda kereta yang masih saja tetap berisik
diluar sana. Mataku pun juga sudah mulai sayup, sesekali menguap.Tidak
berapa lama semua pandangan didepanmataku sudah tak nampak lagi, hilang
dalam ketidaksadaran tidurku.Sejenak aku benamkan pikiran dalam rebahan
tidurku, untuk membayar semua kelelahan yang kurasakan sejak tadi.Aku
tertidur pulas disamping ayahku, diiringi lagu ngoroknya yang terdengar
fals ditelingaku.
Lama juga akuterbenam di alam mimpi, melupakan
sejenak hiruk-pikuknya kehidupan.Terlelap dalam rebahan keterpaksaan,
karena tak ada lagi tempat tidur yang mampu membaringkan tubuhku dengan
leluasa, selain sandaran tempat duduk kereta tua kelas bisnis
itu.Tiba-tiba, seolah memecah keheningan malam,suara klakson kereta api
yang tadi sebelum kami berangkat mengejutkanku, kini kembali mengagetkan
jantungku. Kali ini suaranya terdengar lebih keras karena kebetulan
kami sekeluarga berada di gerbong kereta deretan depan. Aku beranjak
dari tidurku, kemudian bangkit dari rebahan untuk mengetahui apa
gerangan yang sedang terjadi. Suara itu seolah mampu menyeruak di
kesunyian malam,kemudian disusul oleh bunyi yang juga asing
kudengar,“gubrak….!”Bunyi ituterdengar begitu jelas dan keras sekali,
seketika itu juga gerbong kereta yang kutumpangi terasa bergetar
kuat.Tidak berapa lama dari kejadian tersebut, gerbong pun sedikit oleng
dan terpental hingga mampu membalikkan badan kereta tersebut.Dalam
kepanikan dan jeritan suara orang-orang di dalam gerbong kereta
tersebut, tubuhku ditarik oleh tangan seseorang yang tidak asing
kurasakan selama ini.Tidak ada yang bisa didengarselain suara yang
menggemuruholeh teriakan dan jeritan.Pandanganku mulai kabur dan tak
mampu melihat apapun.Semua terlihat hampa, kemudian hilang dan lenyap
dalam kegelapan.
Diriku tak mampu merasai semua yang terjadi, seolah
terlelap bersama bidadari malam dalam tidur panjang,entah apa yang
sedang terjadi.Terakhir sebelum mataku terpejam, jeritan dan tangisan
serta erangan orang-orang digerbong itu tampak jelas kudengar. Lampu
digerbong kereta api itu juga padam, sehingga tak terlihat jelas apa
yang sedang menimpa kami. Dalam kegelapan, mataku pun juga terpejam
seolah tertidur lelap dan tak mampu meraba lagi alam dunia.Semua serasa
melayang, terbang jauh tak tentu rimbanya.
Cukup lama aku tertidur,
terlelap di alam mimpi.Kumandang adzan kembali aku dengar
bersahut-sahutan, sehingga membangunkanku dari ketidaksadarannya
tidurku.Terdengar mengalun sangat menentramkan jiwa dan hatiku,
menggerakkan nuraniku untuk kembali bangkit dari rebahan, memenuhi
panggilan mereka menunaikan sebuah kewajiban.Perlahan kubuka mataku dari
pejaman yang seolah terasa berat memisahkan kedua kelopak mataku
tersebut.Aku dapati pandangan wajah yang tersenyum sumringah
dihadapanku.Wanita muda yang masih asing bagiku mengenakan baju putih
dan memakai jilbab putih.Terasa sejuk hatiku menatapnya dengan senyum
yang mengembang.“Alhamdulillah…, syukurlah kamu sudah siuman!” celetuk
wanita asing tersebut sambil mengusap keningku.Ada yang aneh dengan
diriku, kepalaku dibalut oleh sebuah kain dan kudapati pergelangan
tangan kiriku ditusuk oleh jarum selang infus.
“Aku dimana, dan ada apa denganku?” dalam kondisi kebingungan, aku tanyakan pada wanita mudayang berdiri didekatku tersebut.
“Alhamdulillah, kamu sudah sadar sekarang.Sudah dua hari ini kamu tidak sadarkan diri,” jawab wanita asing itu.
“Anda,Suster kan? Memangnya apa yang sudah terjadi denganku?” kembali aku tanyakan pada wanita itu.
“Iya,
saya Suster dirumah sakit ini.Oh iya, kalau boleh tahu nama kamu siapa
dan umurmu berapa?” suster itu kembali bertanya padaku dan tidak
menjawab pertanyaan yang aku tanyakan padanya.
“Namaku Ani, Suster.
Dua bulan lagi adalah hari ulang tahunku yang kelima belas tahun.Suster
masih belum menjawab pertanyaanku tadi…!” sedikit memaksa kembali aku
bertanya tentang sesuatu yang terjadi padaku yang sudah kutanyakan
padanya tadi tetapi masih belum dijawab oleh suster itu.
“Sudah dulu
ya, yang penting kamu sekarang sudah sembuh.Sekarang lebih baik kamu
istirahat saja dulu nanti akan Suster ceritakan,” kembali suster itu
menjawab tapi tidak memberikan jawaban pasti mengapa aku bisa sampai
terbaring di rumah sakit ini.
Aku melihat suster itu mengambil jarum
suntik, entah cairan apa yang sedang ia masukkan ke dalam suntikan
tersebut. Tiba-tiba ia menghapiriku dan mengusapkan kapas basah dengan
cairan dingin dibagian tubuhku, kemudian menyuntikkan jarum suntik itu.
Tidak berapa lama setelah jarum suntik itu ditusukkan pada salah satu
bagian di tubuhku, pandangan mataku mulai kabur.Seperti kunang-kunang
yang seolah berterbangan di kornea mataku.Kembali kegelapan
menghampiriku, mengaburkan semua pandangan dalam lelapnya dunia yang tak
kuketahui keberadaannya.
Aku heran dan sejenak tercengang, kini
anganku terbang melayang lagi dan bermuara disebuah taman yang asri. Aku
berada dalam dekapan hangat ibuku, duduk dikursi panjang disebuah taman
yang sejuk dan luas. Semilir angin yang halus membelai tubuhku dan
akulihat hamparan rerumputan yang menghijau segar tumbuh disekitar taman
itu. Pepohonan yang tinggi menjulang, menghalangi sinar mentari yang
seolah memaksa menyeruak rimbunnya dedaunan diatas sana. Adikku sedang
asik berlarian kesana-kemari mengejar bola yang disepaknya
sendiri.Kegirangan, sesekali berteriak kala tendangan kuatnya melempar
bola cukup jauh.Aku semakin kuat mendekap pelukan ibuku yang pada waktu
itu mengenakan pakaian serba putih laksana bidadari yang turun dari
Kahyangan. Kemudian,ia melepaskan pelukanku sembari menatap wajahku
cukup lama sekali, penuh arti dan makna yang dalam sekali
akurasakan.Wajahnya tampak pucat pasi, namun sanggup menebar senyum
walaupun dengan kegamangan.Teruntai dari bibir manisnya beberapa patah
kata yang mampu membuatku tertegun.
“Sebentar lagi umur Ani, genap
lima belas tahun.Ani kini bukan anak kecil lagi, sudah bisa mengurus
rumah dengan baik, mencuci piring, mencuci baju dan menyapu rumah
sendiri. Ani harus menjadi anak baik, berbakti pada Ayah danjangan
sekali-kali melupakan sholat,” kata-kataitu diucapkan oleh ibu dengan
perlahan.
“Memangnya kenapa, Bu?Mengapa Ibu berkata begitu pada Ani?”
tanyaku pada ibu sambil menatap matanya yang mulai berbinar dengan air
mata yang hampir penuh namun masih tetap terbendung.
“Ibu dan
adikmusebentar lagi akan pergi ke suatu tempat yang sangat jauh sekali,
yang sudah disediakan untukku dan adikmu.Untuk itu, jaga diri Ani
baik-baik dan senantiasa menjadi anak yang baik,” jawab ibuku dengan
suara yang mulai agak sedikit serak.Kali ini air matanya tak mampu
dibendung olehnya.Seolah banjir bandang yang mengalir deras membasahi
kedua pipinya.
“Jadi, Ibu akan meniggalkanku sendirian dirumah.
Memangnya Ibu mau kemana, mengapa Ibu akanmeniggalkanku sendirian?Apakah
Ani punya salah samaIbu?Ani ingin ikut Ibu, Ani tidak mau ditinggal
sendirian,” pintaku pada ibu.
Mataku juga tak mampu menahan deraian
air mata yang terurai dikelopak mataku, mengalir membasahi kedua
pipiku.Kembali akupeluk erat tubuh ibuku dan mengayunkannya untuk
mendesak agar mengajakku turut serta dan tak meninggalkanku sendiri.
Kemudian
ibu beranjak dari tempat duduknya, sedangkan tanganku masih mendekap
erat tubuhnya.Suasana pilu dan haru yang aku rasakan hari itudan tak
mampu merasakan semua keindahan alam disekelilingku waktu itu.Hanya
sesenggukan dan perasaan sedih yang teramat sangat yang aku rasakan
waktu itu.Ibuku kemudian mengambil tanganku yang mendekap erat
dibelakang tubuhnya. Setelah terlepas, ia kemudian memegang kedua
pundakku dengan tangan lembutnya dan kembali menatapku dengan sayu.
“Ani
jangan bersedih, kepergian ini bukan kemauanku.Tapi, semua ini sudah
ada yang mengaturnya. Ani nanti akan tahu sendiri tentang arti semua
ini. Sekarang, sudah saatnya Ibu dan adikmu untuk pergi.Jadi, biarkanlah
kami pergi dengan tenang.Jaga diri Ani baik-baik, dan berbaktilah pada
Ayah.Jangan lupa belajar yang rajin serta jangan meninggalkan sholat,
agar Allah sayang pada Ani.Ibu disana akan selalu mendoakan Ani semoga
menjadi anak yang sholehah,” tutur ibuku lagi sambil melepaskan
genggaman tanganku.
“Ibu mau kemana?Jangan tinggalkan Ani, Bu!Ani
tidak mau ditinggal sendirian.Ibu…, jangan tinggalkan Ani, Ibu…….!”
teriakku sambil sesenggukan menahan tangis pada ibu.
Perlahan ibu
mulai meninggalkanku bersama adikku yang digandeng oleh
tangannya.Semakin jauh ibu meninggalkanku, hingga samar-samar tubuhnya
akutangkap oleh mataku dari kejauhan.Dengan tangisan dan langkah pastiia
meninggalkanku sendirian, berdiri di taman yang luas tanpa seorang pun
disana. Aku berteriak untuk kesekian kalinya dan berharap ibuku kembali
serta mengurungkan niatnya untuk tidak meninggalkanku. “Ibu jangan
pergi…!Jangan tinggalkan Ani, Bu…! Ani ingin ikut Ibu…!”
Entah berapa
kali kata-kata itu kuucapkan, hingga akhirnya kuterbangun dari
tidur.Aku membuka mataku dan menyadari semua ternyata itu hanyalah
mimpi, mimpi yang seolah nyata terjadi padaku.
Ketika aku membuka
mataku, akudapati wajah-wajah yang tak asing bagiku sudah berkumpul. Ada
nenekku, bibi serta pamanku dan juga saudara sepupuku yang lain. Mereka
berkumpul mengelilingi tempat tidurku, kemudian bibi memegang tanganku
sembari berkata.
“Ani tadi mimpi apaan? Ani tadi mengigau sangat keras sekali,” tanya bibiku.
“Ani
tadi mimpi ibu dan adik pergi meninggalkanku, mereka berdua katanya
akan pergi ke suatu tempat yang sangat jauh sekali dan meninggalkanku
sendirian disebuah taman yang luas tanpa mengajakku turut serta dengan
mereka,” tuturku menjawab pertanyaan bibiku.
Mendengar jawaban itu,
aku lihat bibi dan nenekku meneteskan air mata. Air matanya berlinangan,
tetapi buru-buru diusapnya.Nampak sekali mata mereka yang memerah,
bekas tangisan.Pamanku yang juga berdiri disampingku, hanya terpaku dan
menundukdiam seribu bahasa tanpa keluar sepatah katapun.Aku semakin
heran saja menyaksikan sikap aneh mereka dan bertanya-tanya dalam
hati.Apa gerangan yang sedang terjadi, jangan-jangan ada sesuatu yang
tidak beres yang sudah terjadi dengan ibu dan adikku. Dalam keanehan
tersebut, aku kemudian bertanya pada mereka.
“Oh iya, Ayah danIbuku dimana, Nek? Saya ingin bertemu dengan mereka!” tanyaku pada mereka seolah memecah keheningan.
Mendengar
pertanyaanku tersebut, mereka malah menangis sejadi-jadinya.Nenek yang
aku tanya dan berharap akan memberikan jawaban, malah pergi
meninggalkanku menuju kursi yang berada di pojok kamarku sambil menahan
tangisnya. Hanya bibiku yang memegang erat tanganku dengan tangan
kirinya, sedangkan tangan kanannya mengusap wajahku kemudian mendekatkan
wajahnya tepat diatas wajahku.
“Ani jangan bersedih ya…!Ani harus tabah dan sabar menghadapi semua cobaan ini!” jawab bibiku.
“Memangnya
apa yang sudah terjadi…? Dimana ayah dan Ibu serta adikku…?Dimana
mereka semua sekarang…?” kembali pertanyaan itu aku tanyakan pada
mereka.
Sambil menguraikan air mataakutanyakan hal tersebut pada
mereka semua yang berada diruangan tersebut.Tetapi mereka semua tidak
menjawab pertanyaanku, mereka hanya diam seribu bahasa.Hanya, tangis
pilu yang memecah kesunyian ditempat itudan tak mampu menyibakkan seribu
pertanyaan yang mengganjal dibenakku.Semakin heran dan penasaran
hatiku, semua pertanyaan yang sampai saat ini masih belum terkuak
jawabannya.Dengan memaksa dan sedikit mendesak mereka,akutanyakan
perihal serupa akan keberadaan ayah, ibu dan adikku. Akhirnya, mereka
pun mau terbuka dan memberitahukan semua tentang hal yang terjadi selama
ini.Bibi kemudian mengusap air mata yang mengalir dipipiku.Dengan
perasaan berat kelihatannya bibiku menceritakan semuanya.
“Baiklah,
Ani. Semakin lama akusembunyikan peristiwa ini, semakin tersiksa dan
berat rasanya perasaanku.Bagaimanapun perihnya kenyataan ini, Ani harus
mengetahui semuanya.Lambat laun Ani pun nantinya akan menerima semua
kenyataan ini,” ujar bibiku mengawali pembicaraannya.
“Memangnya apa yang sedang terjadi, Bi?” jawabku mendesak bibi untuk secepatnya memberitahukan tentang kejadian sebenarnya.
“Ani,
dalam kecelakaan kereta api tiga hari yang lalu, hanya engkau dan
Ayahmu saja yang selamat, sedangkan Ibu dan adikmu meninggal dalam
kecelakaan tersebut.Ani harus tabah menerima kenyataan ini, menerima
cobaan yang mungkin berat untuk kita jalani semua,” jawab bibiku dengan
beruraian air mata dan tangannya membelai lembut wajahku.
“Ani bukan
anak kecil lagi sekarang, Ani sudah remaja.Semua ini sudah diatur oleh
Allah, manusia hanya menjalaninya.Untuk itu, bersabarlah menghadapi
semua cobaan ini, insya-Allahakan ada hikmah dibalik semua ujian ini,”
lanjut bibiku menenangkanku yang masih dalam raut kesedihan yang
mendalam.
Hari itu, seakan petir menyambar dengan dahsyatnya,
meluluhlantakan seisi alam bagiku.Mendengar peristiwa tersebut, aku
tertegun cukup lama seakan terlepas dari alam sadarku. Mencoba untuk
tidak mempercayai akan kebenaran yang terjadi pada ibu dan adikku.
Serasa jiwaku terlepas dari ragaku, antara percaya dan tidak percaya aku
tatap wajah orang-orang diruangan itu, seolah mencari kebenaran yang
sesungguhnya.Aku dapati mereka hanya terdiam, tidak ada yang memberikan
respon padaku, hanya linangan air mata diantara raut wajah mereka yang
seolah membenarkan semua cerita yang telah bibi sampaikan kepadaku.
Peristiwa
gerbong terbalik di rel kereta api waktu itu, sungguh menjadi sebuah
cerita memilukan dalam hatiku. Penopang hidup sekaligus tambatan hati
serta tempat berkeluh-kesahku selama ini, akhirnya harus pergi jua
menghadap-Nya.Dalam keadaan sedih yang teramat sangat, aku harus
menerima kenyataan kalau ibuku yang baik hati dan adikku tersayang harus
direnggut dari sisiku.Urat nadiku seakan terputus dan jantungku
berdetak kencang kala mendengar mereka semua telah tiada.Air mataku tak
henti-hentinya berlinang seolah tak rela melepaskan mereka, tetapi
dipaksa harus menerima kepergiannya.
“Ya Allah…!Cobaan apa yang
Engkau berikan padaku ini. Sungguh hambamu tak sanggup menghadapi semua
kenyataan ini. Mengapa engkau begitu cepat merenggut mereka dari sisiku,
meninggalkanku sebatang kara didunia ini. Mengapa Engkau tidak
mengajakku turut serta dengan mereka.Mengapa engkau tinggalkan aku
disini sendirian,” sambil sesenggukan aku lepaskan uraian air matayang
mengalir deras, sedangkan tubuhku terbujur lemas dan tak berdaya.
Tidak
terasa, rupanya aku telah tiga hari tertidur pulas diatas kasur rumah
sakit itu dan tak sadarkan diri. Aku tidak mengetahui bahwa ibu dan
adikku telah meninggal dalam kecelakaan maut kereta api waktu itu. Yang
lebih menyakitkan lagihatiku, aku tidak berada disisinya kala itu, hanya
sekedar untuk mengantarkan kerandamayat ibu dan adikku di
persemayamannya yang terakhir.Aku hanya tertidur lemah di tempat ini dan
tak sadarkan diri. Ya Allah…!,rasanya aku tidak sanggup menghadapi
cobaan berat ini seorang diri. Disaat aku membutuhkan kasih sayangnya,
disaat aku membutuhkan kehangatan belaiannya, Engkau malah memanggilnya
dan pergi dari sisiku untuk selama-lamanya.
Kepiluan seakan telah
menjadi milikku waktu itu, tak dapat membayangkan kepada siapa tumpuan
kesedihan hati ini akanaku curahkan. Orang yang biasanya mampu menampung
semua kesedihanku, kini telah pergi untuk selama-lamanya dan hanya
permisi lewat mimpiku.Tatapanku hampa dan anganku seolah buntu
menghadapi semua kedukaan ini.Tak mampu memikirkan apa yang akan terjadi
denganku kelak, menjalani semua kehidupan ini tanpa ibu disampingku.
Kata bibiku tadi, hanya aku dan ayah yang selamat dalam kecelakaan itu.
Tetapi sejak aku sadar, aku masih belum melihat wajah ayah dan juga
masih belum melihat kondisi ayah seperti apa sekarang.
“Bi, Ayah
sekarang dimana…?Dan juga, bagaimana kondisinya sekarang…?” tanyaku pada
bibi yang masih duduk disamping tempat tidurku.
“Kondisi Ayahmu
baik-baik saja, hanya sedikit ada yang retak dibagian betisdan sekarang
masih dilakukan perawatan di ruang patah tulang rumah sakit ini,” jawab
bibiku.
Serasa berkurang kesedihan hatiku, karena rupanya Allah masih
mempunyai belas kasihan terhadapku.Dia tidak mengambil semua orang yang
aku sayangi, orang yang menjadi tumpuan sekaligus menjadi penopang
dalam hidupku.Bagaimanapun kejadian ini harus aku terima dan aku hadapi
dengan tabah sebagaimana yang diucapkan oleh bibiku.Cukup lama aku
termenung, memikirkan kehidupan yang nantinya akan aku jalani.
Perjalanan yang masih panjang mengarungi kerasnya kehidupan, yang
terkadang kita dihadapkan pada sebuah permasalahan dan kerikil tajam
kehidupan yang bahkan mungkin lebih pedih dari kehidupanku saat
ini.Hanya dengan kesabaran dan tawakkal kepada Allah serta senantiasa
mengharap pertolongan dan petunjuk-Nya, kita semua akan mampu dan
sanggup menjalani kerasnya kehidupan ini. Itu adalah pesan yang selalu
ibu sampaikan kepadaku melalui nasehatnya disaat kami sedang duduk
santai berdua dirumah.Tiba-tiba suster yang merawatku di rumah sakit
tersebut, datang dengan senyumnya yang khas untuk memeriksa kondisiku.
“Assalamu
‘alaikum, Ani. Bagaimana kondisi Ani saat ini…?Kelihatannya Ani sudah
baikan…?Tapi kok masih murung saja, ayo dong tersenyum…!‘Kan senyum itu
ibadah…!” tanya suster itu padaku yang seolah mampu meneduhkan kalbuku.
“Wa’alaikum
salam, Suster. Ani kayaknya sekarang sudah baikan,Suster!”Oh iya
Suster, Ani ingin ke kamar mandi. Ani ingin buang air kecil,” pintaku
pada suster tersebut.
“Oh, Ani ingin pipis ya?Biar Suster ambilkan tempatnya dulu, ya!” jawab suster tersebut.
“Saya mau ke kamar mandi itu, Suster bisa kan membantu saya?” pintaku lagi pada suster itu.
“Ani masih belum bisa bangun, jadi pipisnya ditempat tidur saja dulu ya, tidak apa-apa kok…!” kembali suster itu menjawab.
Suster
itu tidak memperkenankanku untuk bangun dari tempat tidur karena
kondisiku masih belum stabil.Sedikit kesal juga aku padanya karena
dilarang untuk kekamar mandi, dan harus buang air ditempat tidur dengan
dibantu oleh alat yang sudah disediakan oleh pihak rumah sakit.Aku
merasa ada yang aneh dengan tubuhku.Ada rasa nyeri dibagian ujung
betisku ketika aku gerakkan, balutan perbannya juga terasa olehku.Aku
tidak dapat melihatnya dengan leluasa, karena selimut putih milik rumah
sakit itu menutupi sebagian tubuhku.
Suster rumah sakit itu
kemudian mengambil alat rumah sakit untuk membantuku membuang air kecil
diatas kasur.Menurutku memang sedikit agak sulit melakukannya, tetapi
karena suster itu sudah terbiasa melakukan pekerjaan tersebut, proses
itu dilakukan dengan cepat dan hati-hati. Tetapi, keanehan yang aku
rasakan dibagian betis yang ditutupi oleh selimut putih milik rumah
sakit tersebut, kini semakin terasa ada yang janggal. Entah apa gerangan
yang menyebabkan ujung betisku tersebut ada rasa sakit dan nyeri.
Setelah
suster tersebut selesai membantuku buang air besar, suster itu kemudian
permisi dan minta izin padaku untuk keluar dan menemui pasien yang
lainnya.Perasaanku semakin tidak enak saja dengan rasa nyeri dibagian
ujung betisku tersebut.Sedikit merepotkan, aku kemudian minta bibi yang
berada disampingku untuk membantuku duduk.Aku minta disandarkan pada
tempat tidur rumah sakit tersebut dengan alasan kecapaian karena sudah
berhari-hari aku selalu berbaring. Disamping alasan tersebut, sekalian
juga nantinya aku dapat melihat dengan jelas sumber rasa nyeri yang ada
dikakiku dan juga keanehan apa yang terjadi dengan kakiku tersebut.
Tubuhku
pun kini sudah bersandar diujung tempat tidur itu.Aku menatap cukup
lama sekali ke kaki kananku, dimana tempat rasa nyeri tersebut berasal.
Keanehan tersebut kini semakin membuatku penasaran dan bertanya-tanya,
mengapa salah satu ujung kaki kananku ketika ditutupi kain selimut putih
itu terlihat rata, tidak sama dengan kaki kiriku yang menggunduk ketika
ditutupi selimut. Dengan perlahan aku gerakkan ujung kaki kananku, tapi
tak jua terlihat gundukan kaki seperti kaki kiriku.Kembali aku meminta
bantuan kepada bibiku untuk menyingkapkan selimut putih yang menutupi
kedua belah kakiku. Bibiku terlihat panik dan bingung, akhirnya aku
sedikit mendesak sehingga ia mau juga melakukannya. Betapa kagetnya aku
saat melihat kenyataan yang sebenarnya, ternyata kakiku telah buntung
dan nampak disana balutan perban kain putih melingkar diujung betisku.
“Ani,
kakimu terluka parah kemarin dan pihak rumah sakit dengan terpaksa
harus mengamputasi kaki Ani yang terluka cukup serius,sebelum luka
tersebut semakin parah.Aku juga tidak bisa berbuat apa-apa selain
memasrahkan semuanya pada pihak rumah sakit,” terang bibiku memberikan
penjelasandengan sedikit terbata.
“Ya Allah….! Cobaan apalagi yang
harus aku terima ini.Ibu dan adikku telah Engkau ambil, dan kini harus
aku korbankan juga kakiku. Ya Allah…!, sungguh berat cobaan ini harus
aku jalani…!” sambil beruraian air mata, kata-kata itu keluar dari
mulutku.
“Ani, yang sabar ya, menerima kenyataan ini!Semua ini sudah takdir yang harus kita jalani!”
Belum
kering air mataku yang tadi mengalir, menangisi kepergian ibu dan
adikku sampai-sampai kelopak mataku sembam karena tangisanku.Kini harus
menangis lagi, menangisi kakiku yang sudah diamputasi oleh pihak rumah
sakit karena luka yang cukup serius.Begitu berat beban cobaan ini
rasanya harus aku jalani, menjalani kehidupan dalam temaramnya masa
depanku.Dan kini, air mataku seakan telah habis untuk aku cucurkan, yang
tersisa hanya gundukan kesedihan yang menggumpal dan menyesakkan
didalam dadaku.
Seolah memecah kegalauan hatiku, tiba-tiba muncul
sesosok pribadi yang tersenyum dari arah daun pintu masuk kamar rumah
sakit.Seorang pria muda yang tidak asing bagiku, berperawakan tinggi
semampai memakai baju batik dan celana hitam.Dia datang bersama Indah,
sahabat dekatku dan juga teman-teman sekolahku yang lain.
“Assalamu ‘alaikum, Ani…?” sambil tersenyum pria muda tersebut mengucapkan salam padaku.
“Wa’alaikum Salam…!” jawabku membalas ucapan salamnya.
Samar-samar
aku tatap sosok pria muda tinggi semampai itu di pintu masuk kamar
rumah sakit.Dengan mata yang seolah sulit aku buka lebar karena sembam
oleh tangisanku sejak tadi. Semakin mendekat, tampak jelas sosok pria
muda tersebut yang ternyata adalah Pak Subhan, salah satu guru muda di
madrasahku yang datang bersama rombongan siswa-siswi yang lain hendak
menjengukku dirumah sakit.
“Bagaimana kabar, Ani…?Sudah baikan ya sekarang…?” lanjutnya, menanyakan keadaanku saat itu.
“Beginilah
keadaan Ani sekarang, Pak.Sangat menyedihkan sekali.Rasanya Ani tidak
sanggup menghadapi semua cobaan ini.Cobaan berat yang harus Ani tanggung
sendiri.Disatu sisi, Ani harus menerima kepergian ibu dan adikku,
disisi lain Ani harus menerima kalau Ani harus menjadi anak yang cacat
seumur hidup,” jawabku sambil sesenggukanyang kali ini tidak mampu
mengeluarkan air mata karena telah habis aku cucurkan sejak tadi.
“Ani,
kami semua ikut berduka cita atas musibah yang telah terjadi pada
keluarga Ani.Aniharus sabar dan tabah dalam menjalani semua cobaan ini,
cobaan yang mungkin berat untuk kita jalani,” jawab Pak Subhan yang pada
waktu sedang berdiri disamping tempat tidurku.
“Tapi, mengapa harus
Ani yang menjalani semuacobaan berat ini.Kalau begitu, Allah sudah
berlaku tidak adil terhadap Ani!” jawabku membalas ucapan Pak Subhan
penuh kecewa.
“Jangan berkata begitu, Ani…!. Allah bukan tidak adil
pada Ani, justru malah sebaliknya.Allah itu sangat sayang pada
Ani.Buktinya, Ani sekarang diberikan ujian oleh Allah, itu artinya Allah
sangat sayang pada Ani.Cobaan berat itu memang diberikan kepada
hambanya yang memang ia kasihi, untuk menguji seberapa kuat ia mampu
bersabardan tabah dalam menjalani semua cobaan itu,” jawab Pak Subhan.
“Tapi, Ani tidak sanggup Pak, menjalani semua cobaan ini…!” jawabku dengan sedikit mengeluh.
“Ingat,
Ani!Allah telah berfirman dalam al-Quran, “…la yukallifullahu nafsan
illa wus’aha”.Saya tahu pastibahwaAni mengerti akanmakna dari ayat
tersebut. Jadi, hanya orang-orang yang dicintai oleh Allah sajalah yang
diberikan cobaan sekalipun itu cukup berat untuk kita jalani. Karena
Allah paham bahwa hambanya tersebut dianggap mampu untuk menanggung
semua beban itu, sekaligus sebagai ujian kepada hamba-Nya yang Ia
cintai,apakah ia lulusdan tabah imannya dalam menghadapi ujian tersebut
atau tidak…!” imbuh Pak Subhan memberikan penjelasan dengan begitu
meyakinkanku.
Kali ini, hatiku mulai sedikit reda dari kedukaan yang
menggunduk didadaku.Mampu bernafas dari sesaknya paru-paru kekalutan
dalam dadaku.Nasehat Pak Subhan cukup memberikan jalan keluar dari
buntunya pikiranku, menjadi peneduh dibawah terik culasnya cobaan hidup.
Pak Subhan, memang piawai dalam menyiasati semua permasalahanku
disekolah selama ini.Tidak hanya aku yang merasa terbantu olehnya,
teman-temanku yang lain juga merasakan hal yang sama termasuk sahabat
karibku, Indah.
“Ani jangan terlalu larut dalam musibah ini, jalan
kita masih panjang. Lebih baik kita tatap saja masa depan kita untuk
meraih suatu prestasi yang gemilang dimasa yang akan datang. Ketahuilah,
diluar sana masih banyak orang yang mendapatkan musibah dan cobaan yang
lebih berat dari yang Ani alami sekarang ini. Semua itu patut untuk
kita jadikan pelajaran dan kita ambil hikmahnya.Ani masih bersyukur
diberikan kesehatan, tidak cacat seluruh tubuh dan juga Ayah Ani masih
tetap hidup. Diluar sana, banyak orang yang sudah terkena musibah dan
cacat seluruh tubuhnya. Selain itu, hidupnya hanya sebatang kara karena
ditinggal oleh semua anggota keluarganya.Tidakkah masih lebih beruntung
Ani daripada mereka?” lanjut Pak Subhan.
Aku hanya terdiam
mendengarkan semua nasehatnya.Bagiku, kehadiran Pak Subhan hari itu
seolah malaikat yang turun dari surga.Melepaskan semua belenggu dan
pasungan kepiluan yang pada waktu itu seolah mengikatku dan
mengungkungku cukup kuat serta sulit untuk melepaskannya. Dia mampu
menggantikan sosok ibuku yang telah pergi jauh meninggalkanku, menjadi
pelipur lara ditengah terjerembabnya semangatku dalam jurang terjalnya
keputus-asaan.
“Sekali lagi saya berpesan pada Aniuntuk senantiasa
mensyukuri setiap nikmat yang telah diberikan oleh Allah pada kita.Hari
ini memang kita dapati bahwa Ani harus kehilangan kaki karena diamputasi
oleh dokter. Tetapi perlu diingat, bahwa bagian tubuh yang lain yang
masih dimiliki oleh Ani, misalnya matauntuk melihat, hidung untuk
bernafas, telinga untuk mendengar, mulut untuk berkata dan merasai
setiap makanan yang masuk dalam tubuh kita danakal yang masih utuh untuk
berpikir serta nikmat-nikmat dibagian tubuh yang lain yang harus
disyukuri keberadaannya. Janganlah kita termasuk salah satu makhluk yang
ingkar terhadap nikmat yang masih disisakan oleh Allah yang terdapat
dalam diri kita. Sebab janji Allah dalam al-Quran, “….lainsyakartum
laazidannakum, walainkafartum inna ‘adzaabii lasyadiid”,yang
artinya:“Jika kamu bersyukur atas nikmat yang telah Aku berikan padamu,
niscaya akan Aku tambah, dan jika kamu ingkar terhadap nikmat yang telah
Aku berikan padamu, ketahuilah bahwa siksaku sangat pedih”. Untuk itu,
Ani harus memanfaatkan sisa-sisa nikmat yang telah Allah berikan pada
kita dengan cara mensyukurinya. Ketahuilah bahwa setiap kesulitan dan
musibah yang kita hadapi, pasti akan ada kemudahan dan secercah harapan
untuk kita jalani. Hidup itu tidak selamanya harus menelan rasa pahit,
pasti dibalik semua cobaan ini Allah telah mempersiapkan madu untuk kita
reguk,” lanjut Pak Subhan mengakhiri nasehat panjangnya.
“Oh iya….,
kami tidak bisa berlama-lama disini. Karena saya bersama teman-temanmu
yang lain sekarang sudah waktunya pulang sekolah, saya takut orang tua
teman-temanmu bingung mencari mereka. Jadi, kami permisi pulang dulu.Ani
cepet sembuh ya, biar nanti cepet kembali ke madrasah!” pamit Pak
Subhan padaku.
“Iya, Pak. Terima kasih atas kunjungan serta nasehat Bapak yang cukup berarti bagi Ani…!” jawabku.
“Sama-sama, Assalamu ‘alaikum,” ucap Pak Subhan memberi salam sebelum pulang.
“Wa’alaikum salam.”
Mereka semua kini beranjak pergi meninggalkan rumah sakit.Kehadiran
mereka sangat aku butuhkan ditengah-tengah kesedihan yang aku alami
sekarang ini.Apalah jadinya diriku, bila Pak Subhan tidak mengunjungiku
pada waktu itu.Keadaanku yang seolah jatuh tersungkur dari
ketidakberdayaan dan keputusasaan serta diliputi kesedihan yang cukup
mendalam.Pak Subhan merupakan salah satu guru muda di madrasahku.
Disamping itu, dia termasuk salah satu guru favoritku dan juga favorit
teman-temanku yang lain.Kebetulan dikelas kami beliau mengajar mata
pelajaran Bahasa Indonesia, tetapi kalau ditanya masalah yang berkaitan
dengan soal agama, beliau juga mumpuni dengan masalah tersebut. Guru
muda dan tampan serta pintar, wajar banyak yang simpati padanya. Pada
hari itu, aku tidak menyangka sama sekali beliau dan teman-teman yang
lain akan datang dan mengunjungiku dirumah sakit.
Setelah beberapa
hari dirumah sakit, kondisi tubuhku sudah mulai membaik meskipun tidak
sepenuhnya pulih.Masih saja ada rasa nyeri dibagian tubuhku, namun sudah
mendingan dibandingkan sebelumnya.Aku lihat bibi mulai berbenah diri,
seolah bersiap-siap untuk pulang. Paman dan sepupuku yang lain, sudah
lebih dulu pulang. Paman harus bekerja dikantor, tidak enak pada
atasannya kalau harus cuti kerja cukup lama. Sedangkan saudara sepupuku
yang lain, harus sekolah karena takut ketinggalan pelajarannya. Bibi
yang sudah beberapa hari ini sudah menemaniku dirumah sakit, terlihat
juga akan menyusul mereka. Saya pun juga tidak enak menahan bibiku untuk
tetap tinggal disinimenemaniku dirumah sakit ini, meninggalkan tugas
dan kewajibannya sebagai seorang ibu rumah tangga dirumahnya.
“Aku
lihat kondisi Ani sudah mulai membaik, Ayah Ani pun juga Bibi lihat
menunjukkan kondisi yang juga mulai membaik.Jadi, hari ini Bibi mau
pamit untuk pulang ke rumah, karena kasihan Paman dan saudara-saudara
Ani dirumah tidak ada yang mengurus.Biarlah Nenek saja yang di rumah
sakit menemani Ani disini,” ujarbibiku ketika berpamitan pulang.
“Iya
Bi,terima kasih karena Bibi telah bersedia menemaniku disini. Saya pun
juga tidak bisa berlama-lama menahan Bibi disini, karena saya tahu Bibi
punya kewajiban dirumah untuk mengurus Paman dan saudara-saudara
sepupuku di rumah, Bibi.”
“Sama-sama, Ani.Jaga diri Ani baik-baik,
jangan bersedih lagi.Bibi doakan semoga Ani cepat sembuh biar cepat
bersekolah lagi,” pamit bibiku sambil mencium kening dan kedua belah
pipiku.
Bibiku kemudian bergegas mengambil semua barang bawaannya
yang ia bawa selama ini menuju ke arah pintu, meninggalkanku dan nenekku
berdua dirumah sakit. Aku tidak mampu mengiringi dan mengantarkan
kepulangannya, walaupun hanya sampai dipintu depan. Hanya ungkapan
terima kasih yang terdalam atas semua niat baiknya selama ia menemaniku
dirumah sakit.Kini hanya aku berdua dengan nenekku dikamar itu, berbagi
cerita dan sesekali tertawa. Kami cukup akrab, karena hanya aku adalah
cucu perempuan satu-satunya yang ia miliki karena ketiga anak dari
bibiku, semuanya laki-laki. Jadi, hanya aku yang menjadi cucu perempuan
semata wayangnya.
Dua puluh hari lamanya aku terbujur lemah dirumah
sakit, bukan waktu yang singkat aku menjalani hari-hari dipembaringan
rumah sakit itu.Kondisiku juga sudah mulai menunjukkan kondisi yang
cukup membaik, begitu juga ayah meskipun tidak sepenuhnya pulih.Tetapi
dokter rumah sakit itu, sudah mengizinkan kami untuk dirawat
dirumah.Atas izin dokter rumah sakit tersebut, kami pun juga sudah mulai
bersiap-siap untuk segera pulang kerumah.Begitu juga dengan ayahku yang
sudah terlihat siap dengan kursi rodanya.Aku juga sudah mulai turun
dari tempat tidur, meskipun untuk sementara waktu harus menggunakan
tongkat.Sebenarnya pihak rumah sakit sudah mempersiapkan alat yang
menyerupai kaki untuk menyambung kakiku yang sudah diamputasi, tetapi
harus menunggu sampai kakiku betul-betul pulih.
Setelah semua barang
bawaan kami siap dan juga proses administrasi rumah sakitselesai kami
urus, kami segera bergegas keluar untuk meninggalkan rumah sakit itu,
meninggalkan tempat yang pernah menjadi saksi bisu akan kedukaanku yang
teramat sangat memilukanku. Suster ramah dan baik itu mengantarku sampai
didepan teras rumah sakit.Kali ini, kembali senyum simpulnya yang
tersungging manis dan dagunya yang seperti lebah bergantung mengiringi
kepergianku.
Sembari melambaikan tangannya suster rumah sakit itu
melepasku, sesaat setelah mobil yang kami tumpangi pelan melaju.Tak aku
diamkan lambaian tangannya dengan sia-sia.Seolah tanpa diperintah,
tanganku juga tergerak dengan membalas lambaiannya hingga samar-samar
terlihat dikejauhan.Lenyap sudah bangunan rumah sakit itu dari pandangan
mataku, karena mobil yang aku kendarai cukup kencang membawaku
pergi.Aku buka kaca jendela mobil yang ada disampingku hingga masuk
desiran angin yang mampu memporak-porandakan rambutku yang tadi sudah
aku sisir rapi. Aku pandangi semua bangunan dan orang-orang yang sibuk
dalam hiruk-pikuknya kota untuk bekerja dan menjalankan aktivitas mereka
sehari-hari sekedar untuk mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari.
Cukup
lama aku terbaring dirumah sakit, hingga aku merasa kangen dengan
teman-temanku disekolah, bercanda dan bermain dengan mereka
lagi.Senda-gurau dan canda-tawa mereka yang dulu selalu menghiasi,
sejenak terhenti karena liburan dan juga karena kecelakaan yang aku
alami.Tetapi, dalam hatiku masih ada perasaan yang gundah.Akankah mereka
masih mau menerimaku sebagai teman baiknya, menerimaku dengan kondisi
fisikku yang sudah cacat dan sudah tidak sempurna lagi.Perasaan itu
selalu menghantui sepanjang perjalanan pulangku hingga tidak terasa
setelah sekian lama berjalan, ternyata sampai juga ditempat yang tidak
asing aku lalui selama ini.Pertigaan yang mengarah ke arah rumahku
tercinta.Tidak banyak yang berubah setelah cukup lama rasanya aku
tinggalkan.Terlihat dikejauhan, para tetanggaku sudah mulai berkumpul di
halaman rumahku, menunggu kedatangan kami dari rumah sakit.
Sesampainya
dihalaman depan rumahku, semua tetanggaku kemudian mendekati mobil yang
kami tumpangi. Mereka membantu aku dan ayahku keluar dari mobil,
kemudian membawaku masuk kedalam rumah.Ketika sampai diruang tamu, aku
memandangi setiap sudut rumahku.Tidak ada yang berubah, masih tetap
seperti yang dulu.Kemudian, pandangan mataku terhenti pada foto keluarga
yang terpajang didinding rumahku.Sebuah keluarga yang sudah tidak utuh
lagi, karena dua orang diantara mereka sudah meninggal dalam kecelakaan
kereta api waktu itu. Rasa sedih itu kini menghampiriku lagi, seolah
menahan ombak besarnya air mata dipelupuk mataku. Tetapi, terburu-buru
dihampiri oleh salah satu tetanggaku hingga menyurutkan air mataku yang
hampir akanmenetes.
“Ani, ayo cepat masuk kekamar!Segera berbaring
dan istirahat dikamar ya!” ucap tetanggaku tersebut sambil memegang
pundakku kemudian memapahku masuk kedalam kamar.
“Oh iya…, ayo!” jawabku membalas ajakan mereka melepaskan semua kesedihan yang akan kembali menghinggapi perasaanku.
Kini
aku sejenak membaringkan tubuhku dalam ruangan persegi kamarku, melepas
penat yang terasa sumpek dankeblinger dengan bau obat dan alat medis
yang ada di rumah sakit.Sesekali tetanggaku masuk ke kamarku, sekedar
untuk menyapa dan melihat kondisiku.Setelah suasana cukup sepi, aku
punkemudian istirahat dengan tenang hingga malam menjelang dan tidur
cukup lelap sampai larut malam.
Cukup lama aku pejamkan mataku,
pulas dalam kepenatan yang sehari-hari tidak bisa tertidur nyenyak di
rumah sakit.Kumandang suara adzan subuh, bersahutan disekitar
rumahku.Memanggil manusia untuk segera bangkit dari rebahan, tunaikan
kewajiban untuk kembali mengingat Sang Pencipta.Perlahan aku membuka
mataku sembari mendengar alunan suara adzan yang terdengar syahdu
sehingga mampu membuat hatiku bergetar. Menyadari akan dosa diri karena
sudah berhari-hari aku tidak menunaikan kewajiban sebagai hamba yang
beriman. Aku bangkit dari rebahan untuk mengambil wudhu’.Terlihat
disampingku, nenek yang masih tertidur pulas. Entah jam berapa dia tidur
semalam, karena aku lihat semalaman ia menjagaku. Aku tidak
membangunkannya karena kasihan mungkin masih kecapaian.
Aku beranjak
dari tempat tidur kemudian tertatih dengan tongkat yang aku kenakan
menuju kamar mandi.Setelah di kamar mandi aku kemudian mengambil sikat
dan pasta untuk menyikat gigiku.Aku kemudian mencuci hidungku,
membersihkan bagian dalam daun telingaku, membersihkan sela-sela jari
tangan dan kakiku karena menurut ilmu fiqih semua itu merupakan
sunah-sunah yang harus kita lakukan sebelum kita mengambil wudhu’.
Setelah
sunah wudhu’ tersebut selesai aku lakukan, aku membaca niat wudhu’
kemudian mengambil air untuk membasuh mukaku.Terasa hening dan damainya
hatiku, karena aku merasa dosa-dosa yang melekat dalam diriku selama ini
seolah luntur dan lebur bersama air yang jatuh dari usapan air
wudhu’ku. Secara berurutan, bagian tubuhku yang lain juga aku sucikan.
Mulai dari kedua tanganku sampai ke siku lenganku, kedua daun telingaku,
bagian rambut diubun-ubun kepalaku dan basuhan terakhir dibagian kakiku
yang hanya tinggal sebelah. Setelah semua proses wudhu’ itu selesai,
terakhir tidak lupa aku membaca do’a sesudah wudhu’ kemudian keluar dari
kamar mandi menuju musholla kecil didalam rumahku. Sesampainya didepan
pintu musholla tersebut, aku dapati ayahku yang sudah berada disana
sedang duduk bersimpuh diatas sajadah yang terhampar, lengkap dengan
peci yang ia kenakan sambil memutar tasbih ditangannya.
“Ayah sudah shalat belum?” tanyaku pada ayah.
“Belum, saya memang sengaja belum shalat karena menunggu Ani selesai wudhu’ dulu,” jawab ayahku.
“Oh begitu ya…! Kalau begitu saya pakai mukena dulu ya, Yah!” tandasku kembali pada ayah.
Segera
aku ambil mukena yang tergantung di dinding musholla.Mukena itu aku
gibaskan dulu sebelum aku pakai, karena sudah lama tidak aku gunakan
sehingga terlihat banyak debu yang menempel.Setelah selesai, aku
kemudian memberitahukan ayah bahwa aku sudah siap jadi makmumnya.Aku
tepat berada dibelakang ayahku sambil menghamparkan sajadah.
Terlihat
ayahku memulai shalatnya dengan membaca takbiratul ihram terlebih
dahulu.Ada hal yang tidak biasa dilakukan oleh semua orang ketika
melakukan shalat berjamaah. Ayahku ketika menjadi imam, tidak melakukan
shalat dengan berdiri tetapi dengan cara duduk. Sedangkan aku yang
menjadi makmumnya, melakukan shalat dengan cara setengah berdiri atau
berdiri dengan menggunakan lutut. Semua itu kami lakukan karena kondisi
fisik kami berdua masih belum sembuh total.Cara shalat seperti yang kami
lakukan tersebut, diperbolehkan juga oleh agama kita.Sebagaimana yang
aku ketahui, jika kita tidak mampu melakukan shalat dengan gerakan
sebagaimana layaknya karena kondisi atau keadaan yang tidak
memungkinkan, maka kita boleh melakukan shalat dengan cara duduk. Jika
kita masih tidak mampu dengan duduk, maka kita boleh mengerjakan shalat
dengan cara berbaring. Kalaupun kita juga masih tidak mampu melaksakan
shalat dengan cara berbaring, maka kita juga diperbolehkan dengan
menggunakan bahasa isyarat mata. Semua tatacara shalat itu aku pelajari
dari ibu Lailatul Izzah, guru fiqih di madrasahku.
Setelah selesai
shalat, aku kemudian membaca al-Quran.Ayat demi ayat aku lantunkan
dengan hati bergetar, serasa menembus Lauhul Mahfudz dan menghentak
keheningan subuh dipagi itu.Damai kini kembali bersahabat denganku,
menyerunai disela-sela keputus-asaanya perasaanku.Hatiku tertegun ketika
mulutku sampai pada bacaan ayat ke 75 surat Thaaha yaitu,
“…..wamaiya’tihii mu’minang qad‘amilasshaalihaati faulaaika
lahumuddarajaatul’ulaa”. Ayat itu artinya kurang lebih,“Dan barangsiapa
datang kepada Tuhannya dalam keadaan beriman, lagi sungguh-sungguh telah
beramal saleh, maka mereka itulah orang-orang yang memperoleh
tempat-tempat yang tinggi (mulia).”Ayat itu aku ucapkan sampai tiga kali
hingga mampu menitikkan air mata.Pagi itu aku memang telah datang
menghadap Tuhan, dengan membawa diriku dalam iman yang tak lebih dari
hanya sebesar partikel atom yang sangat kecil. Aku adalah manusia yang
merasa penuh diliputi dengan dosa yang tak pernah pantas mengharap surga
yang memang telah Iajanjikan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman dan
beramal saleh.
Surat Thaaha dalam al-Quran tersebut aku baca sampai
selesai.Surat tersebut diakhiri oleh ayat yang berbunyi: “…..Maka kamu
kelak akan mengetahui, siapa yang menempuh jalan yang lurus dan siapa
yang telah mendapat petunjuk.” Kemudian aku tutup al-Quran tersebut usai
aku baca, setelah itu aku cium seraya berdoa, “Ya Allah…! Jadikanlah
aku termasuk hamba-Mu yang imannya tetap Engkau teguhkan dan senantiasa
mendapatkan petunjuk dari jalan lurus yang telah Engkau tentukan,
sebagimana dalam bunyi akhir dari ayat yang telah aku baca
tersebut.”Tanpa aku sadari ternyata nenek juga sudah berdiri
dibelakangku, dia juga hendak melakukan shalat.
“Heh, Ani ko’ ngak
ngebangunin Nenek, sih!Nenek kan juga mau shalat subuh!” tuturnya sambil
mengeluh padaku karena tidak dibangunin.
“Saya kan kasihan sama Nenek, kayaknya kecape’an karena tidak tidur semaleman!” jawabku memberi alasan pada nenek.
“Bukan
gitu caranya, An! Yang namanya shalat itu kewajiban yang harus kita
lakukan selagi kita masih mampu melakukannya! Tidur karena alasan
kecape’an sehingga tidak shalat, itu namanyakita termasuk orang yang
melalaikan shalat, itu namanya dosa lho.Terus bagi orang yang mengetahui
kemudian sengaja tidak membangunkannya, juga kena dosa lho!” jawab
nenekku sambil memakai mukenanya untuk shalat.
“Iya, Nek. Ani minta maaf, Ani ngaku salah deeeh…!” jawabku penuh rasa salah.
“Ingat, lain kali jangan gitu ya, Ani sayang!” sahut nenekku yang sudah bersiap-siap untuk melaksanakan shalat.
Aku
kemudian beranjak dari mushalla dengan tongkat yang masih kukenakan.
Perlahan aku melangkah menuju pintu depan rumah setelah itu berdiri
didepan teras rumahku. Orang-orang sudah mulai banyak yang
berlalu-lalang di depan rumahku. Kebetulan hari itu adalah hari Minggu,
sehingga banyak anak-anak yang jalan pagi untuk menghirup udara segar
dan juga berolahraga. Sesekali mereka menyapaku, yang sedang asik
berdiri di teras depan rumah menyaksikan mereka semua.
**************************
Sepuluh
hari sudah sejak kepulangan kami dari rumah sakit berlalu.Kondisiku
kini sudah mulai pulih sebagaimana layaknya dan juga sudah mulai
menggunakan kaki palsu yang diberikan oleh pihak rumah sakit waktu
itu.Sehingga aku tidak memerlukan tongkat lagi untuk berjalan.Ayahku pun
juga kini sudah terlihat mulai berjalan normal kembali.Sejak
kepulangannya dari rumah sakit, ayah gigih latihan berjalan sehingga
normal kembali seperti sekarang ini.
Aku dan keluargaku selama ini
hidupnya bisa dibilang cukup harmonis dan kebutuhan hidup kami
berkecukupan.Tidak ada permasalahan berarti yang kami hadapi selain
kesejahteraan dan ketentraman.Semua anggota keluarga kami menjalankan
fungsi masing-masing dengan baik.Ayah yang menjadi kepala keluarga dalam
mencukupi kebutuhan kami, kebetulan bekerja sebagai karyawan disebuah
perusahaan swasta. Sedangkan ibu sehari-hari sebagai ibu rumah tangga
biasa dan bekerja sampingan membuka toko didepan rumah yang sekarang ini
terpaksa harus tutup karena tidak ada yang menjaganya lagi. Tugasku di
rumah hanya belajar dan menjaga adikku sambil sesekali membantu ibu di
dapur, menjaga toko, menyapu rumah dan mencuci baju.
Sepeninggal
ibuku, tugas yang aku hadapi ada yang sedikit berubah karena nenekku
yang tinggal bersama kami untuk sementara waktu, kini harus menggantikan
posisi ibu.Tugasku sedikit menuntutku untuk banyak membantu nenek di
dapur dan juga tugas-tugas rumah yang lainnya.Kehidupanku kini
menuntutku untuk bisa hidup lebih mandiri dan juga hidup lebih dewasa
dari sebelumnya.
Hari ini adalah hari pertamaku masuk sekolah.Ayahku
pun juga terlihat sudah siap-siap untuk mulai masuk kerja, setelah
beberapa hari terakhir ini harus cuti dari pekerjaanya. Seperti biasa,
setiap berangkat sekolah, aku selalu dibonceng oleh ayahku sampai di
depan halaman sekolahku. Ketika pulang sekolah, karena waktu pulangnya
kami tidak bersamaan, aku terpaksa naik angkot.Semua itu selalu aku
lakukan setiap hari selama beberapa tahun terakhir ini.
Sepeda motor
yang dikendarai ayahku melaju dengan cukup kencang, hingga mengibaskan
jilbab yang aku kenakan karena terbawa oleh angin. Setelah lama
berjalan, tidak terasa sampai juga di halaman depan madrasahku. Terlihat
anak-anak sudah mulai ramai dan berdatangan menuju gerbang madrasah.
Ayah menurunkanku tepat di pinggir jalan depan gerbang madrasahku.
Segera aku cium tangan ayahku dan mengucapkan salam sebelum aku masuk.
Setelah selesai, ayah kemudian menarik gas sepeda motornya dan melaju
kencang meninggalkanku.Aku pun segera bergegas untuk melangkah masuk
menuju madrasahku.Terlihat bapak dan ibu guruku sudah berdiri di pintu
gerbang madrasah.Pemandangan itu selalu kami temui setiap pagi.Semua itu
mereka lakukan untuk menyambut anak-anak yang baru datang.
“Selamat
datang kembali di madrasah ini, Ani…! Bagaimana keadaanmu sekarang?Saya
lihat keadaanmu sudah mulai membaik?” sapa Pak Sugiyo, kepala madrasahku
yang kebetulan pagi itu juga sedang menyambut kedatangan anak-anak di
pintu gerbang madrasah.
“Terima kasih, Pak!Keadaan Ani sekarang ini sudah cukup baik, Pak!”
“Kami
semua ikut belasungkawa atas musibah yang telah menimpa keluarga
Ani.Semoga Ani diberikan ketabahan dan kesabaran dalam menghadapi semua
musibah yang telah terjadi tersebut!” lanjut Pak Sugiyosambil
mengucapkan belasungkawanya terhadap keluargaku.
“Iya Pak, sama-sama, terima kasih…!” jawabku membalas ucapannya.
“Oh ya…., silahkan langsung ke kelas sebentar lagi bel akan berdering…!”
“Iya Pak, Ani permisi ke kelas dulu! Assalamu’alaikum!” jawabku membalas perintahnya.
“Wa’alaikum salam!”
Aku
langkahkan kakiku menuju kelas kesayanganku, melewati gerombolan
teman-teman yang sudah mulai memadati madrasahku. Semua mata mereka
mengarahkan pandangannya padaku, seolah artis yang akan naik ke atas
pentas untuk menyanyikan sebuah lagu rasanya aku waktu itu. Acap kali
mereka terdengar ditelingaku sedang menyapaku. Hanya anggukan dan
senyuman yang tersungging manis untuk membalas semua sapaan mereka. Ada
yang duduk, dan ada pula yang berdiri terlihat sedang asik mengobrol,
entah hal apa yang mereka bicarakan. Langkah kakiku terhenti ketika
sampai tepat berada didepan pintu kelasku. Aku lihat, Indah sahabat
karibku sudah lebih dulu datang daripada aku sedang duduk dibangkunya.
“Hai
Ani…! Gimana kabar loe?Gue kangen banget lho ama elloe…! Tambah segeran
aja nih…!” sambut Indah yang tampak senang atas kedatanganku ke sekolah
waktu itu.
“Ya ginilah, seperti yang loe lihat sendiri sekarang keadaan gue cukup baik bukan…?”
“Eh… eh...! banyak lho yang mau gue ceritain ama loe, pokoknya buanyaaak…. banget dech…!”
“Ngak ada yang berubah lho dari elloe, masih tetep kaya’ yang dulu, tetep heboh boh… boh…!” lanjutku pada Indah penuh canda.
“Gue gitu loch…..! Kalo tidak heboh meulaboh, bukan Indah tuh namanya, tul gak cin…?!” lanjut dia dengan gaya centilnya.
Tidak
lama setelah kami ngobrol dan menyapa teman-teman yang lain di kelas,
bel sekolah berdering keras memanggil anak-anak untuk bergegas menuju
mushola di dalam madrasah kami. Seperti biasa, setiap jam 07.00 kami
semua secara bersama-sama sholat dhuha di mushalla tersebut sampai jam
07.30.Setelah itu, kami semua menuju ke kelas kami masing-masing untuk
mulai belajar.
Kebetulan, untuk jam pertama di kelasku adalah
pelajaran Bahasa Indonesia. Terlihat Pak Subhan sudah berdiri di depan
pintu kelas membawa tas dan laptopnya. Wajahnya terlihat lebih segar
dari biasanya, berseri-seri dan penuh semangat. Beliau menyapa kami
semua dengan ucapan salam dan berdiri didepan mejanya.
“Hari ini
telah hadir kembali ditengah-tengah kita, perempuan tegar dan kuat yang
sangat patut untuk kita teladani dan kita contoh.Cobaan yang dia hadapi
selama ini memang cukup berat untuk dia jalani.Tetapi, dia mampu
menghadapi cobaan tersebut dengan tabah dan sabar.Dia adalah Ani
Wahdaniyati teman kalian sendiri,” ucap Pak Subhan mengawali
pelajarannya.
“Selamat datang kembali di madrasah ini, kami
menyambutmu dengan ucapan ‘ahlan wasahlan bikhudurikum’. Semoga kamu
dapat belajar dengan baik dan mampu mengukir prestasi kembali di
madrasah ini tanpa terus menoleh ke belakang untuk mengingat dan
menyesali semua peristiwa yang telah terjadi yang akan kembali membuatmu
terpuruk dalam kesedihan. Selagi saya mampu, saya akan membantu dan
memecahkan setiap permasalahan yang kalian hadapi,” lanjut Pak Subhan
mengahiri ucapan sambutannya atas kehadiranku kembali di madrasah itu.
Motivasiku
kini bangkit kembali, setelah beberapa hari terakhir ini terpuruk dalam
puing-puing keputusasaan. Guru yang menjadi inspirasiku dalam
menggelorakan semangatku dan teman-teman selama ini, menyatakan sanggup
untuk membantu memecahkan semua permasalahan yang akan kami hadapi.
Semoga Pak Subhan mampu menjadi salah satu motivatorku untuk mengimbangi
timbangnya kasih sayang yang telah diberikan oleh orang yang aku
sayangi selama ini dan telah pergi jauh dari sisiku.
Aku saat ini
kebetulan tercatat sebagai siswi kelas IX C di madrasahku.Secara
keseluruhan untuk kelas IX terdapat empat kelas, dua kelas diantaranya
kelas putra dan dua kelas lainnya adalah kelas khusus putri. Jam
pelajaran di madrasah kami dimulai jam 07.30 pagi setelah sebelumnya
shalat dhuha bersama-sama di mushalla. Kami biasanya pulang jam 12.40
kemudian dilanjutkan dengan sholat dhuhur berjamaah di mushalla yang
sama sampai jam 13.00, setelah itu kami semua pulang. Rutinitas itu
selalu kami lakukan setiap hari, dengan tujuan melatih kami untuk
senantiasa terbiasa menjalankan ibadah.
Kini anak-anak sudah
berlarian menuju gerbang madrasah untuk segera pulang.Aku dan Indah
serta teman-teman yang lainnya juga berjalan menuju pintu madrasah untuk
juga pulang.Setelah di pintu gerbang, aku dapati orang tua dari
teman-temanku sudah banyak yang menunggu untuk menjemput mereka.Ada yang
ditunggu oleh ibunya, oleh bapaknya dan juga oleh kerabatnya Terasa
senangnya mereka semua ketika pulang sekolah ada yang menunggui dan
menjemputnya. Sedangkan aku hanya diantar oleh ayah ketika akan
berangkat sekolah dan ketika pulang sekolah naik angkot tanpa ada yang
menjemput. Semua itu sudah aku lakukan sejak aku kelas VII, sehingga aku
seolah terbiasa menjalani semua itu tanpa rasa mengeluh. Aku sadar,
ayah yang bekerja dikantor dan juga ibu yang juga bekerja menjaga toko
di rumah, tidak mungkin sempat untuk selalu menunggui dan menjemputku
ketika pulang dari madrasah. Antara rumah dan sekolahku tidak terlalu
jauh, jaraknya hanya sekitar 10 kilo meter.
“Heh..., melamun aja…!
Apa sih yang dilamunin, gak mau pulang nih…?, tuh angkot dah berhenti.
Ayo…! Mau pulang ngak?” celetuk suara Indah dibelakangku sambil memukul
pelan pundakku.
“Elloe tuh…, ngagetin gue aja. Iya dong aku mau pulang, emang mau nginep sini…!”
Kami
berdua kemudian masuk ke dalam angkot yang sudah berhenti tepat
dihadapan kami.Dalam waktu sekejap saja, angkot yang kami tumpangi sesak
dan penuh karena teman-teman kami banyak yang menerobos masuk.Bahkan
ada teman kami yang terpaksa tidak jadi ikut karena tidak kebagian
tempat duduk.Didalam angkot tersebut, aku merasa gerah sehingga
keringatan. Pada waktu itu, matahari diluar sana cukup terik bersinar,
sehingga udara tampak panas sekali. Aroma teman-temanku yang tercium
oleh hidungku didalam angkot tersebut beraneka-ragam baunya, seperti
permen “Nano-nano”.Rutinitas seperti itulah yang aku jalani setiap
harinya.
Waktu seolah berjalan begitu cepat, memutar roda kehidupanku
melewati-hari-hari.Sore itu, aku dan nenekku sedang asik mengobrol di
ruang tamu sambil menunggu ayah pulang dari tempat kerjanya.Hidangan
sederhana yaitu singkong goreng tersaji diatas meja.Tidak selang
beberapa lama, terlihat ayah sudah berdiri di depan pintu rumah. Ada
yang aneh saat aku lihat ayah sore itu.Dia hanya berdiri terpaku dan
bersandar pada daun pintu yang sudah ditutupnya.Wajahnya tampak lesu,
seolah menanggung beban yang cukup berat.Aku dan nenekku saling
berpandangan, tampak kebingungan menyaksikan keadaan ayah waktu itu.Aku
kemudian bangkit dari tempat duduk dan perlahan menghampirinya.
“Ada
apa dengan ayah?Apa yang sudah terjadi sehingga wajah ayah tampak murung
dan lesu?” tanyaku pada ayah yang masih tetap bersandar dibelakang daun
pintu.
“Sekarang anak ayah ini sudah besar dan sudah remaja serta
mampu berpikiran dewasa untuk menentukan jalan terbaik bagi diri
Ani.Tidak ada yang dapat ayah berikan, kecuali hadiah kecil dan tidak
berharga ini yang mungkin nilainya tidak seberapa.Hanya ini yang mampu
ayah berikan untuk Ani!” jawab ayahku sambil memungut sesuatu dari saku
celananya kemudian menyodorkannya padaku.
“Apa ini, Yah?” tuturku
sambil membuka kotak kecil yang tadi diberikan oleh Ayah padaku yang
ternyata didalamnya adalah sebuah kalung emas.
“Selamat ulang tahun
ya, Nak!Semoga panjang umur dan senantiasa dalam lindungan Allah!”
lanjut ayahku sambil memeluk tubuhku.Kali ini ayah terlihat menitikkan
air mata.
“Terima kasih ya, Yah!” jawabku penuh rasa haru.
Aku
menerima hadiah kalung emas yang diberikan oleh ayahku tepat pada hari
ulang tahunku yang ke lima belas tahun. Penuh rasa haru dan suka cita
aku terima hadiah itu, hingga tidak terasa aku juga mampu menitikkan air
mata bahagia.Aku sempat lupa kalau hari itu adalah hari ulang
tahunku.Hatiku merasa senang sekali waktu itu.Tetapi aku masih merasa
heran dan tidak habis pikir, mengapa wajah ayah masih tampak murung
saja.Padahal aku sendiri pada waktu itu dalam kondisi kegirangan
merayakan ulang tahunku dengan hadiah yang ayah berikan kepadaku.
Sejenak
kemudian ayah melangkah menuju kursi ruang tamu tersebut untuk
duduk.Masih juga dia terlihat diam terpaku dan mengarahkan pandangannya
pada satu titik yang seolah hampa.Aku kemudian menghampirinya dan duduk
tepat disampingnya.
“Ayah…! Ada apa dengan Ayah? Sejak tadi wajah
Ayah tampak murung saja. Cerita dong, Yah, sama Ani!” tanyaku pada ayah
sambil memintanya untuk menceritakan apa gerangan yang sudah terjadi
dengannya.
“Ani, hadiah yang Ani terima dan Ani pakai sekarang itu
Ayah beli dari hasil pesangon Ayah. Ayah membelikan hadiah itu karena
Ayah takut suatu saat nanti tidak mampu membelikannya lagi untuk Ani,”
jawab ayah dengan wajah murungnya.
“Maksud Ayah apaan? Ani masih tidak mengerti!” lanjutku, menjawab perkataan ayah yang masih belum aku pahami maksudnya.
“Hari
ini Ayah telah di-PHK dari perusahaan. Jadi mulai besok dan seterusnya,
Ayah sudah tidak bekerja lagi diperusahaan,” jawab ayahku dengan
sedikit terbata.
Mendengar jawaban ayah tersebut, aku sangat
terkejut.Seakan air mata kebahagiaan yang telah aku cucurkan tadi,
terhisap kembali oleh mataku.Seketika itu pula wajahku yang tadinya
tampak kegirangan dan penuh dengan keceriaan, kini berganti
kesedihan.Tubuhku lunglai dan lemas seolah tidak memiliki urat dan
tenaga lagi.Otakku tak mampu berpikir jernih, yang ada hanyalah bayangan
keburaman masa depanku. Aku tidak mampu berpikir apa yang akan aku
lakukan, semuanya seakan buntu dan tak mampu menemukan jalan keluar
untuk menyambung kehidupan kami kelak. Karena aku sendiri sadar betul
bahwa, selama ini kami hidup dan bergantung dari hasil pekerjaan ayah.
“Ayah,
yang mengatur semua rezeki manusia itu adalah Allah, dalam hal ini
manusia hanya berusaha.Hari ini Ayah di-PHK, mungkin rezeki yang kita
terima sekarang sangat kecil.Tetapi yang harus kita ingat adalah, kita
tidak boleh berkecil hati dan juga berputus asa dalam mencari serta
mendapatkan rezeki Allah tersebut. Insya-Allah kalau kita tetap berusaha
dan senantiasa tawadhu’ kepada-Nya serta kita tidak berputus asa dari
nikmat-Nya, niscaya Allah akan memberikan jalan dan kemudahan untuk
mendapatkan rezeki lagi ditempat yang lain. Sebagimana pernah diajarkan
oleh guru Ani di madrasah, yaitu firman Allah dalam al-Quran yang
berbunyi: “……walaa taiasuu min rauhillahi.Innahuu laa yaiasuu min
rauhillahi illal qoumul kaafiruun,” yang artinya: “Dan jangan kamu
berputus-asa dari rahmat Allah.Sesungguhnya tiada berputus asa dari
rahmat Allah kecuali orang-orang kafir,” jawabku pada ayah yang seolah
terkesan mengguruinya.
“Ani anakku, terima kasih karena engkau telah
memberikan Ayah semangat dan juga telah membukakan mata hati Ayah. Ayah
senang mendengar semua nasehat Ani. Ayah memang sudah yakin dan
menyadari bahwa Ani kini bukan anak-anak lagi serta mampu berpikiran
dewasa. Sekali lagi terima kasih telah memberikan nasehat pada Ayah ya,
Nak!” jawab ayahku sambil memeluk erat tubuhku.
Hari itu aku terlihat
tegar dihadapan ayahku, walaupun sebenarnya didalam hatiku menahan
seonggok kesedihan yang teramat sangat. Aku teringat pesan yang
disampaikan oleh bibiku dan Pak Subhan sewaktu aku terbaring lemah di
rumah sakit, bahwa akan ada hikmah dibalik semua cobaandan ujian yang
kita alami. Aku tidak ingin terlihat oleh ayahku terlalu larut dengan
kesedihan yang kami hadapi waktu itu, sehingga menambah berat kesedihan
yang ayah alami.Aku pura-pura tegar dan tetap tersenyum pada ayah.
Sebenarnya
waktu itu aku sangat bingung sekali, hingga terlepas anganku dalam
menatap masa depan. Aku yang sekarang sudah kelas IX, tentunya sebentar
lagi akan melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih atas lagi. Pikiranku
dihantui oleh pertanyaan-pertanyaan yang masih buram adanya. Kira-kira
dari mana natinya aku akan mendapatkan biaya untuk melanjutkan sekolahku
tersebut. Sebab menurut informasi yang aku dengar dari kakak kelasku
dan juga tetanggaku yang kebetulan anaknya melanjutkan ke jenjang
pendidikan yang lebih atas, biayanya tidak murah.Mulai dari uang SPP,
uang seragam dan juga uang buku yang harus dipenuhi cukup banyak.Belum
lagi harus membayar uang gedung yang jumlahnya jutaan, yang nilainya
cukup besar untuk ukuran ekonomi sekelas keluargaku.
“Ya Allah…,
akankah aku sanggup melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi
nantinya,menggapai impian dan cita-citaku yang telah aku rajut selama
ini.Ya Allah…, aku pasrahkan segalanya pada-Mu.Berikanlah mukjizat-Mu
ditengah kondisi kami yang sedang terpuruk ini,” do’aku dalam hati
mengharap pertolongan Allah.
Keesokan harinya, kejadian yang menimpa
ayahku tersebut, aku ceritakan pada sahabat karibku, Indah dan juga pada
guru sekaligus motivatorku yaitu Pak Subhan.Seolah berbagi kedukaan
dengan orang-orang yang selama ini mengurangi penatnya beban pikiranku
sehingga membuatku mampu dan tegar berdiri ditengah kerasnya ombak dan
kerikil tajam kehidupanku.Lagi-lagi aku dapati semangatku seakan tetap
berkobar setelah sempat redup oleh bias-bias keputus-asaan dan
keterpurukannya batinku dari cobaan hidup yang menguji kesabaran dan
keteguhan imanku.
Hidup baru kini telah kami tapaki, menuai secercah
harapan dan rezeki yang telah Allah persiapkan untuk kami.Kami
sekeluarga kembali membentangkan layar untuk mengarungi samudera
kehidupan yang terhampar luas dihadapan kami.Toko yang pernah kami
miliki, yang sempat terpaksa harus tutup karena tidak ada yang
menjaganya, kini dibuka kembali oleh ayah berbekal modal dari sisa
pesangon yang diterima oleh ayah dari perusahaannya waktu itu.
Atas
saran Pak Subhan juga, aku dan nenekku memanfaatkan sedikit keahlian
yang kami miliki.Kami berusaha membuat aneka makanan kecil dan gorengan
yang aku titipkan di warung dan kantin di madrasahku. Kadang kami
membuat tempe goreng, tahu isi, pisang goreng, keripik singkong, jagung
kembang dan aneka makanan ringan lainnya. Makanan kecil itu aku bawa
setiap hari ke madrasah.Hasilnya memang tidak seberapa, tetapi lumayan
dapat membantu meringankan kebutuhan ekonomi kami sehari-hari di rumah.
Dimadrasah,
selain aku sibuk belajar, aku juga aktif dalam kegiatan OSIS.Selama ini
aku aktif dibagian mading yang kebetulan dibina langsung oleh guru
Bahasa Indonesia kami yaitu, Pak Subhan.Kegiatan yang berkaitan dengan
masalah tulis-menulis bukanlah sesuatu yang asing bagiku.Kegiatan itu
aku tekuni karena terdorong oleh hobi yang memang aku gemari selama ini
yaitu, menulis.Cukup banyak rubrik yang termuat dalam mading tersebut
diantaranya yaitu, cerpen, puisi, opini, artikel, tips-tips, humor,
cerita bergambar (cergam), kata mutiara dan masih banyak lagi
tulisan-tulisan lainnya.Aku pun juga sering menulis di mading tersebut.
Selain
mading, aku juga kebetulan ditunjuk menjadi pengurus di tim redaksi
buletin madrasah yang setiap dua minggu sekali terbit. Banyak
tulisan-tulisan cerdas dan aktivitas teman-teman serta berita-berita
menarik lainnya juga kami terbitkan.Buletin tersebut kami sebarkan ke
semua siswa dan lingkungan masyarakat sekitar.Alhamdulillah, sedikit
banyak kami harapkan dapat bermanfaat,karena berita yang kami sajikan
berisi informasi yang menarik dan bersifat aktual.
Itulah aktivitasku
selama beberapa bulan terakhir ini.Aku menyibukkan diri dengan
aktivitas tersebut tanpa melupakan belajar dan kewajiban-kewajiban
lainnya.Dengan kesibukanku tersebut, aku ternyata mampu melupakan dan
membenamkan sejenak semua kedukaan yang pernah aku alami
sebelumnya.Banyak yang memuji kalau hasil tulisanku cukup bagus,
termasuk juga Pak Subhan. Berkat kemampuan dan keahlianku dalam hal
tulis-menulis tersebut, aku sering ditunjuk oleh pihak madrasah untuk
mewakili madrasahku mengikuti berbagai jenis bidang lomba seperti,
mengarang cerpen, mengarang puisi, membaca puisi, membuat Karya Ilmiah
Remaja (KIR), membuat mading dan juga lomba-lomba lainnya baik ditingkat
Kecamatan maupun tingkat Kabupaten. Dari setiap lomba yang aku ikuti
tersebut, hasilnya cukup memuaskan yaitu rata-rata aku mendapatkan juara
satu.
Pada suatu hari ketika jam pelajaran sedang berlangsung, aku
dipanggil oleh staf TU madrasahku untuk segera menemui kepala madrasah
diruangannya. Aku terkejut sekaligus bertanya-tanya, ada apa gerangan
Pak Sugiyo memanggilku. Aku kemudian minta izin kepada guru yang sedang
mengajar dikelasku untuk menemui kepala madrasah.Dengan ragu dan langkah
yang masih berat aku menuju ke ruang kepala madrasah. Setibanya di
depan pintu ruangan kepala madrasah, aku dapati disana ternyata Pak
Subhan juga berada diruangan tersebut. Perasaanku semakin tidak enak dan
juga was-was, mengapa mereka berdua memanggilku.
“Assalamu’alaikum…!” ujarku memberi salam ketika akan masuk ke ruangan tersebut.
“Wa’alaikum
salam, silahkan masuk Ani! Ayo silahkan duduk sini! Ada yang mau kami
bicarakan denganmu,” jawab kepala madrasahku dengan bibir tersenyum.
“Kira-kira ada apa ya, Bapak memanggil Ani ke ruangan,Bapak?”
“Begini,
kemarin saya menerima surat edaran dari Kementerian Agama Kanwil
Provinsi Jawa Timur perihal lomba penulisan cerpen Islami remaja tingkat
nasional.Cukup banyak sih, yaitu tiga puluh lima halaman. Setelah saya
berembuk dengan Pak Subhan, kami kemudian memutuskan untuk menunjuk Ani
mewakili madrasah kita dalam lomba tersebut.Kami yakin bahwa Ani mampu
dan bisa membuat cerpen dengan baik untuk kemudian diikutkan dalam lomba
tersebut,” jawab kepala madrasahku sambil menjelaskan perihal
pemanggilanku ke ruangannya.
“Apa, Pak…? Lomba menulis cerpen tingkat nasional…? Aduh…, Ani bisa ngak ya kira-kira?” jawabku penuh ragu.
“Seperti
yang telah saya bilang barusan, berbekal pengalaman yang selama ini Ani
lakukan di madrasah ini,berkaitan dengan masalah tulis-menulis, saya
sangat yakin kalau Ani mampu membuatnya dan menyelesaikannya dengan
baik. Oh iya, nanti yang akan membimbing Ani dalam proses pembuatan
cerpen tersebut adalah Pak Subhan,” lanjut kepala madrasahku sambil
membujuk dan meyakinkanku.
“Insya-Allah, Pak. Ani akan mencobanya,” jawabku menyanggupi permintaannya.
“Baiklah,
nanti sering-seringlah Ani berkonsultasi dengan Pak Subhan bila ada
permasalahan dan sedikit kendala dalam proses pembuatan cerpen tersebut.
Sekarang, silahkan Ani kembali ke kelas untuk kembali belajar,” lanjut
kepala madrasah sambil menyilakan aku kembali ke kelasku.
“Iya Pak, terima kasih.Ani permisi kembali ke kelas dulu.Assalamu’alaikum!” pamitku.
“Sama-sama, Ani.Wa’alaikum salam.”
Aku
kemudian beranjak dari ruangan kepala madrasah menuju kelasku. Aku
sangat senang sekali hari itu sekaligus juga beban tersendiri karena
lomba yang akan aku ikuti tersebut mewakili madrasah, tidak
tanggung-tanggung yaitu tingkat nasional. Tiga puluh lima halaman bukan
jumlah yang sedikit, butuh konsentrasi dan pemikiran yang luas untuk
menyusun sebuah karangan agar menjadi cerita yang menarik. Rasa senang
bercampur harap, semoga aku mampu menyelesaikan pembuatan cerpen
tersebut dan juga mampu menjadi juara dalam lomba tersebut.
Sepulang
sekolah, aku menemui Pak Subhan untuk mengkonsultasikan kira-kira tema
apa yang akan aku ambil untuk penulisan cerpen tersebut. Aku menemui
beliau di ruang guru.
“Assalamu’alaikum,” sapaku pada Pak Subhan yang sudah siap-siap akan pulang.
“Wa’alaikum salam.Oh, Ani, silahkan masuk!” jawab Pak Subhan sambil mempersilakanku masuk.
“Begini,
Pak. Ani masih bingung kira-kira tema apa yang akan Ani angkat untuk
cerpen tersebut.Ani saat ini masih blengdengan cerpen yang akan Ani
karang,” jelasku pada pada Pak Subhan.
“Oh begitu ya!Sesuai dengan
ketentuan yang telah dibuat oleh panitia cerpen tersebut, cerita
tersebut diangkat dari kisah keseharian, fiksi dan juga futuristik.Saya
sebenarnya sudah punya ide sebelumnya, tetapi itu bergantung dari Ani
sendiri kira-kira mau apa tidak dengan ide saya tersebut,” jawab Pak
Subhan tetapi masih belum mengatakan secara jelas idenya tersebut.
“Kira-kira, apa ide Bapak untuk tema cerpen yang akan saya karang nantinya, Pak?” tanyaku lagi.
“Saya
mempunyai ide untuk memasukkan kisah perjalanan hidup Ani selama ini
dalam cerita tersebut.Saya pikir itu cukup menarik untuk dibuat cerpen,
cukup orisinil dan juga futuristik.Disamping itu, Ani tidak perlu
berpikir lebih luas karena tingkah laku dan kejadiannya tersebut sudah
Ani alami sendiri sehingga dengan mudah untuk dimasukkan dalam sebuah
cerita,” jelas Pak Subhan ketika menyampaikan idenya.
“Iya juga ya,
Pak. Ani ko’ ngak kepikiran kesana ya! Iya dah Pak, nanti akan Ani coba
dirumah. Terima kasih atas idenya, Ani permisi pulang
dulu.“Assalamu’alaikum,” jawabku sekalian permisi pulang.
“Sama-sama Ani.Wa’alaikum salam.”
Segera
aku meninggalkan Pak Subhan.Aku cepat-cepat pergi dari ruangannya
karena aku tahu bahwa dia tadi sudah bersiap-siap untuk pulang tetapi
terhenti karena aku menemuinya untuk konsultasi masalah cerpen tersebut
padanya.
Sepanjang perjalanan pulang, pikiranku kembali mengarah pada
kisah hidupku yang dulu untuk menemukan kerangka cerita yang nantinya
akan aku tulis sekaligus mencari juga kira-kira judul apa yang tepat
untuk cerita tersebut. Aku sesekali tersenyum dan ngomong sendiri
didalam angkot yang aku tumpangi tersebut bersama Indah.
“Heh…, elloe dah gila ya…? Senyum-senyum dan bicara sendiri?” sapa Indah yang kebetulan sedang duduk disampingku.
“Eh,
elloe ngagetin gue aja.Loe pikir gue udah saraf ya senyum-senyum dan
bicara sendiri tanpa arti.Gue tuh sekarang lagi mikir kerangka dan judul
karangan karena kebetulan gue ditunjuk mewakili madrasah kita untuk
ikut lomba menulis cerpen tingkat nasional. Kebayang ngak sih gimana
buatnya, tingkat nasional bo’….! Apalagi jumlahnya tidak sedikit,
minimal tiga puluh lima halaman, gimana mikirnya…!” sahutku menjawab
tuduhan Indah yang telah menyangka aku gila.
“Sory mayori deh cin….!
Gue minta maaf deh…, elloe sih ngak bilang-bilang kalo lagi konsentrasi
mikir untuk nulis cerpen.Tapi gue yakin ko’, elloe pasti bisa
menyelesaikannya dengan baik.Elloe kan udah pengalaman sering menang
dalam lomba,” sahut Indah.
“Dasar emang pikiran loe tuh kotor sih, sehingga mikir gue yang enggak-enggak!” celetukku pada Indah.
Sepanjang
perjalanan pulang itu, aku tidak mampu berpikir secara penuh karena
harus mendengarkan ocehan Indah. Dia memang senang ngobrol, kalau sudah
bersama dia, seharian penuh dia pasti tidak bisa diam, selalu ada saja
bahan yang ia ceritakan. Terkadang aku tidak tahan dengan sikap
centilnya dia itu, namun terkadang juga aku kangen dengan ocehannya
karena dia itu mampu menjadi teman ngobrolku dan juga menghiburku kala
aku punya masalah.Aku sering memanggil dia dengan sebutan “cewek lebay”
karena sikapnya yang menggemaskan semua orangitu.
Setiap hari aku
kerjakan cerpen tersebut.Siang malam yang selalu aku bawa kemana-mana
adalah buku dan kertas, untuk menuangkan semua ide dalam pikiranku yang
sewaktu-waktu muncul.Aku menyempatkan diri untuk mengarang, ditengah
tugas sekolah dan tugas rumah yang seabrek jumlahnya.Aku tidak patah
semangat ketika aku mengalami kendala dan menghadapi jalan buntu, aku
dengan cepat mengkonsultasikannya dengan Pak Subhan. Hampir semua
kendala dalam proses penulisan cerpen tersebut berjalan lancar.
Kesabaran dan ketelatenan Pak Subhan dalam memberiku bimbingan dan
arahan patut diacungi jempol.
Sepuluh hari lamanya proses pembuatan
cerpen tersebut berlangsung. Setelah itu masih melalui proses editing
dan pengoreksian naskah secara keseluruhan selama dua hari, barulah
cerpen tersebut selesai dengan sempurna. Sebenarnya aku ingin cerpen
tersebut cepat selesai, sehingga aku dapat mengerjakan tugasku yang lain
dan juga konsentrasi belajar, karena sebentar lagi di madrasahku akan
ada ujian akhir semester.
Keesokan harinya, naskah yang telah
selesai tersebut kemudian aku serahkan pada Pak Subhan sekaligus meminta
bantuannya untuk menyiapkan semua berkas-berkas yang diperlukan dalam
proses pengiriman naskah tersebut ke panitia lomba di Jakarta. Setelah
lengkap, barulah naskah tersebut dikirimkan. Aku menitipkan pada Pak
Subhan untuk membantuku mengurus pengiriman berkas tersebut melalui
kantor pos terdekat.Harapan terakhirku adalah semoga cerpen yang aku
buat itu menjuarai lomba yang diadakan oleh panitia tersebut.
Kini
aku kembali lagi pada aktivitasku yang semula, bergelut dengan tugas
sekolah dan tugas rumah lagi.Hari demi hari kujalani kehidupanku,
menitikkan tapakan pada rotasi waktu.Aku pun juga telah lupa dengan
lomba yang pernah aku ikuti kemarin.Hingga suatu hari, aku dipanggil
oleh kepala madrasah untuk menghadapnya.Aku kemudian bergegas pergi
untuk menemui kepala madrasah di ruangannya.Di ruangan tersebut kulihat
Pak Subhan juga ada disana.
“Assalamu’alaikum,” ujarku memberi salam.
“Wa’alaikum salam. Silahkan masuk Ani…! Ada sesuatu yang ingin kami sampaikan padamu.”
“Iya, Pak. Ada apa Bapak memanggil saya ke ruangan Bapak?” tanyaku.
“Begini,
kemarin saya menerima surat dari panitia lomba cerpen di Jakarta.
Alhamdulillah, dalam lomba tersebut kamu mendapatkan juara satu diantara
sepuluh finalis peserta lomba lainnya.”
“Apa, Pak? Apa Ani tidak
salah dengar…? Ani mendapatkan juara satu…?“sahutku dengan riang sembari
tidak mempercayai informasi yang baru aku dengar tersebut.
“Iya,
Ani. Kamu mendapatkan juara satu dalam lomba tersebut.Kamu tidak salah
dengar.Selamat ya…!” jawab kepala madrasahku lagi sambil meyakinkanku
bahwa kabar itu benar adanya.
“Alhamdulillah…!”
Dengan wajah
senang dan kegirangan aku keluar dari ruangan kepala sekolah.Aku
kemudian mencari sahabat karibku Indah di kelas.Setelah ketemu aku
kemudian menghampirinya.
“Indah, sahabat gue yang terbaik didunia dan
tiada duanya…! Gue menang lomba cerpen, In!Juara satu lagi!” tuturku
pada Indah sambil memeluknya kegirangan.
“Yang bener loe, An?
Sukurlah, akhirnya sahabatku yang saraf ini menang lomba juga!” celetuk
Indah saat kuberitahu perihal kemenanganku dalam lomba tersebut.
“Gila loe.Gue ngak saraf lagi, ello kale yang saraf!” sahutku tidak terima sewaktu aku dibilang saraf.
“Ya
udah ngak apa-apa. Tapi yang penting, saraf-saraf gini menang lomba
juga khan…!?” jawabnya lagi yang masih tetap menggojlokku.
“Ah, masa’ bodoh lah apa kata loe aja dah. Terima kasih ya atas semua bantuan loe selama ini!” jawabku pada Indah.
“Sama-sama, entar jangan lupa ya traktirannya…!” jawab Indah lagi.
“Iya-iya, tenang aja.Ditanggung beres deh pokoknya, OK!” jawabku pada Indah.
Kabar
yang aku terima hari itu sungguh merupakan kabar yang menggembirakanku.
Sebenarnya aku tidak menyangka kalau aku yang akan jadi pemenangnya
dalam lomba tersebut. Aku sendiri sadar, karena lomba tersebut
lingkupnya skala nasional, pasti pesertanya lumayan banyak dari berbagai
daerah di seantero Indonesia untuk berkompetisi menjadi pemenang. Tapi
kekhawatiranku itu dibayar lain oleh Allah dengan mukjizatnya bagiku
yang cukup luar biasa.
Sepuluh hari sejak diumumkannya pemenang lomba
tersebut, sepuluh finalis kemudian diundang secara resmi oleh panitia
tersebut untuk presentasi sekaligus penyerahan hadiah langsung oleh
Bapak Surya Dharma Ali yaitu, Menteri Agama Republik Indonesia.Aku,
Ayahku dan Pak Subhan berangkat ke Jakarta memenuhi undangan panitia
tersebut.Sungguh pengalaman yang luar biasa dapat bertatap muka langsung
dengan Bapak Menteri Agama Republik Indonesia. Wajahnya yang selama ini
aku hanya lihat di televisi, kini sudah tampa layar dan tanpa perantara
siapapun, aku dapat bertemu langsung dan berbicara langsung dengan
beliau. Sungguh pengalaman yang luar biasa yang takkan pernah aku
lupakan.
Hadiah yang aku terima waktu itu lumayan besar, yaitu Rp.
10.000.000,-sungguh hadiah yang cukup besar untukku. Selama ini, aku
memang kebingungan untuk mendapatkan biaya untuk membayar uang sekolahku
nantinya ketika akan melanjutkan ke sekolah tingkat atas. Tetapi
Alhamdulillah, rupanya Allah mendengar semua keluh-kesahku selama ini
dan menjawab semua do’aku yang senantiasa terpanjat dalam keseharianku.
“Pak
Subhan, Ani mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga atas semua
bantuan dan bimbingan Bapak selama ini pada Ani. Ani tidak dapat
membalas semua jasa Bapak yang tak mampu Ani hitung besar dan
jumlahnya!” ucapku pada Pak Subhan usai penyerahan hadiah tersebut.
“Sama-sama,
Ani.Sungguh merupakan kesan yang luar biasa dapat membimbing Ani sampai
menjuarai lomba tingkat nasional ini.Mungkin ini semua merupakan
jawaban dari Allah atas semua cobaan dan ujian yang Ani alami selama
ini.Ini semua adalah rezeki Ani yang layak Ani terima. Ingatlah bahwa
ketika Allah akan memberi rizki pada kita, datangnya pun kadang tidak
dari jalan yang kita sangka sebelumnya, sebagaimana Allah berfirman
dalam al-Qur’an,“Wamayyattaqillaaha yaj’alhumakhrojan. Wayarzuqhu min
haitsu laa yahtasib” yang artinya: “Barangsiapa bertaqwa kepada Allah,
niscaya Dia akan membukakan jalan keluar untuknya. Dan Dia akan memberi
rizki dari arah yang tidak disangka-sangka.”Itulah janji Allah dalam
al-Quran pada kita selaku umatnya.Tidakkah janji Allah tersebut sudah
terjawab dalam diri Ani sekarang?Disaat Ani membutuhkan biaya yang cukup
besar untuk melanjutkan sekolah, sekarang kebutuhan Ani tersebut kini
dibayar oleh Allah dengan jalan Ani memenangkan lomba ini,” jawab Pak
Subhan dengan sedikit panjang lebar sehingga membuatku tertunduk.
“Iya,
Pak. Ani sekarang paham tentang apa yang pernah dikatakan oleh Bapak
pada Ani sewaktu dirumah sakit dulu, bahwa setiap cobaan dan ujian yang
kita hadapi yang diberikan oleh Allah, pasti akan ada hikmah dibalik
semua itu. Ani sekarang sudah paham akan maksud dari semua perkataan
tersebut, Pak,” jawabku pada Pak Subhan.
“Oh iya, karena acara sudah
usai mari kita siap-siap untuk segera pulang. Sekarang kita langsung ke
stasiun mumpung masih sore, nanti kalau kemaleman takut kehabisan
tiket,” ajak Pak Subhan pada kami berdua.
Kami semua bertolak pulang
dari Jakarta menuju rumah kami dengan membawa sekeranjang kebahagiaan.
Pengalaman ini sungguh menjadi pengalaman berkesan dalam hidupku yang
akan terkenang untuk selama-lamanya. Tidak selamanya pahitnya cobaan itu
akan kita telan, pasti akan ada madu dibalik getirnya cobaan untuk kita
reguk.
fausinoke
Rabu, 27 Januari 2016
karya siswa
Juharis & Abdul Hamid
Processor merupakan pusat eksekusi setiap perintah, baik sebuah instruksi ataupun data dalam sistem komputer.
· Lia Kuswayatno
Processor merupakan sebuah chip yang menjadi pengolah utama dan sebagai pusat pengendali dari berbagai perangkat komputer.
· Rahmat Putra
Processor merupakan komponen terpenting dalam komputer untuk mengendalikan segala komponen yang ada di dalam komputer, untuk mengolah data & mengeksekusi semua sistem operasi yang telah diinstalkan di dalam komputer.
Prosesor ini terletak di socket yang sudah disediakan motherboard. Processor ini disebut juga “Microprosessor”. Processor merupakan sebuah IC yakni suatu komponen dasar yang terdiri dari resistor, transistor dls, yang juga merupakan suatu komponen yang digunakan sebagai otak dari berbagai perangkat elektronik.
Fungsi Processor
Umumnya processor hanya berfungsi untuk memproses semua informasi data yang diterima dari input, yang kemudian menghasilkan output. Prosesor tidak bisa bekerja sendiri, tetapi membutuhkan dukungan perangkat lain, seperti hardisk dan RAM. Dalam memproses sebuah data bisa dilakukan dengan waktu prosesnya cepat atau lambat itu tergantung pada kecepatan prosesor tersebut. Satuan kecepatan dalam prosesor ialah Mhz (Mega Heartz) / Ghz (Giga Heartz), semakin besar kecepatan sebuah prosesor, maka semakin cepat pula kinerja komputer saat sedang melakukan proses.
Adapun bagian-bagian terpenting dalam sebuah processor antara lain sebagai berikut:
· Aritcmatics Logical Unit (ALU)
Melakukan semua bentuk perhitungan aritmatika / matematika sesuai dengan intruksi programnya. Bagian ALU ini pada dasarnya melakukan semua bentuk logika.
· Control Unit (CU)
Pengatur lalu lintas data seperti input & output. Semua peralatan dalam sistem komputer diatur dan dikendalikan oleh CU.
· Memory Unit (MU)
Alat penyimpanan kecil namun memiliki kecepatan akses yang cukup tinggi.
Jadi, prosesor pada sebuah komputer ini sangatlah penting, karena komponen kecil ini sangat menentukan kecepatan performa dari sebuah komputer yang anda miliki.
Jenis - jenis Processor berdasakan pabrik pembuatnya
1. Processor Intel
Produk ini merupakan produk yang dihasilkan oleh perusahaan IntelCorporation yang merupakan sebuah perusahaan multinasional yang bermarkas di Amerika Serikat dan berdiri sejak tahun 1968, adapun dari tipe - tipe processor yang dihasilkan antara lain :
1. 4004 Micro processor
2. 8008 Microprocessor
3. 8080 Microprocessor
4. 8086 – 8088 Microprocessor
5. 286 Microprocessor
6. Intel 386 TM
7. Intel 486 TM DX CPU Microprocessor
8. Intel Pentium Processor
9. Intel Pentium Pro Processor
10. Intel Pentium II Processor
11. Intel Pentium II Xeon Processor
12. Intel Celeron Processor1999
13. Intel Pentium III Processor1999
14. Intel Pentium III Xeon Processor2000
15. Intel Pentium 4 Processor2001
16. Intel Italium Processor2001
17. Intel Italium II Processor2002
18. Intel Pentium M Processor2003
19. Intel Pentium M 735/ 745/ 7552004
20. Intel Pentium 4 Extreme Edition2005
21. Intel Pentium D2005
22. Intel Core 2 Quad2006
23. Intel Quad Core Xeon2006
24. Intel Core i7 800, i5 dan Xeon 34002009
2. Processor AMD
Sama seperti Intel, AMD merupakan perusahaan semikonduktor multinasional yang bermarkas di Amerika Serikat tepatnya di Sunnyvale, California, Perusahaan ini merupakan perusahaan terbesar kedua setelah Intel Corporation untuk pemasok global mikroprosesor yang berdasarkan arsitektur x86, dan pada tahun 2007, Perusahaan ini menempati peringkat kesebelas dari segi pendapatan. Produk Processor yang dihasilkan oleh AMD antara lain :
1. Opteron ( untuk pangsa pasar server ).
2. AMD FX dan APU A SERIES ( untuk pangsa pasar Desktop ).
3. APU Z SERIES ( untuk pangsa pasar prodak tablet pc ).
3. Processor Apple.
Apple Inc. perusahaan ini sebelumnya bernama Apple Computer, Inc. juga merupakan sebuah perusahaan multinasional dengan pusat kantornya di Silicon Valley, Cupertino, California, bergerak dalam bidang perancangan, pengembangan serta penjualan produk - produk elektronik, komputer pribadi, serta perangkat lunak komputer. didirikan tepatnya pada tanggal 1 April 1976 dan dinamakan secara resmi menjadi Apple Computer, Inc. kemudian 9 Januari, 2007, kata "Computer" dihapus dan fokus pada nama Apple pasca peluncuran produk iPhone. Produkprocessor apple diantaranya :
1. Apple I
2. Apple II
3. Apple DOS
4. Apple Pascal
5. Apple CP/M
6. Apple SOS
7. Apple ProDOS
8. Macintosh
4. Processor Cyrix VIA
Cyrix adalah salah satu perusahaan pengembang mikroprosesor yang berdiri pada tahun 1988,tepatnya di Richardson, Texas. pada tanggal 11 November 1997 perusahaan ini bergabung dengan National Semiconductor. dan kemudian diakusisi oleh VIA pada 1999. Adapun processor yang dihasilkan oleh perusahaan ini antara lain :
1. Cyrix FasMath
2. Cyrix 486SLC dan Cyrix 486DLC
3. Cyrix 5×86
4. Cyrix 6×86 (M1)
5. Cyrix MII
6. Cyrix MediaGX
7. Cyrix MII-433GP
8. VIA C3® Processor
9. VIA CoreFusion™ Processor Platform
10. VIA Eden™ Processors
11. VIA C7® Processor
12. VIA PV530 Processor
13. VIA Nano™ Processor
14. VIA Nano™ X2 Processor
5. Processor IBM
International Business Machines Corporation ( IBM ) merupakan sebuah perusahaan yang berkantor pusat di Armonk, Town of North Castle, New York, Amerika Serikat, yang memproduksi serta menjual berbagai perangkat keras maupun perangkat lunak komputer. IBM sendiri didirikan tepatnya pada tanggal 16 Juni 1911, dan beroperasi sejak 1888, Produk - produk processor keluaran dari IBM antara lain :
1. 8008
2. 8080
3. 8088/8086sx
4. 286
5. 80386 DX
6. IBM 486SLC2
7. Pentium Classic (P54C)
8. Pentium Pro
9. Pentium II Xeon
10. IBM POWER4
11. IBM POWER5
12. IBM POWER6
13. IBM POWER7
6. Processor IDT
IDT ( Integrated Device Technology ) adalah perusahaan yang lebih kecil yang menghasilkan CPU dengan harga murah. berdiri pada tahun 1980 dan berkantor di San Jose, California Amerika serikat, IDT merupakan perusahaan pembuat processor WinChip yang diperkenalkan pertama kali pada Mei 1997, adapun processor yang dihasilkan dari perusahaan ini antara lain adalah :
1. Winchip C6 (0.35 µm)
2. WinChip 2 (0.35 µm)
3. WinChip 2A (0.35 µm)
4. WinChip 2B (0.25 µm)
5. WinChip 3 (0.25 µm)
Processor ialah sebuah IC yang mengontrol dari keseluruhan jalannya sebuah sistem komputer yang digunakan sebagai pusatnya atau otak komputer dengan menjalankan fungsinya dalam melakukan perhitungan & menjalankan tugas.
Processor merupakan pusat eksekusi setiap perintah, baik sebuah instruksi ataupun data dalam sistem komputer.
· Lia Kuswayatno
Processor merupakan sebuah chip yang menjadi pengolah utama dan sebagai pusat pengendali dari berbagai perangkat komputer.
· Rahmat Putra
Processor merupakan komponen terpenting dalam komputer untuk mengendalikan segala komponen yang ada di dalam komputer, untuk mengolah data & mengeksekusi semua sistem operasi yang telah diinstalkan di dalam komputer.
Prosesor ini terletak di socket yang sudah disediakan motherboard. Processor ini disebut juga “Microprosessor”. Processor merupakan sebuah IC yakni suatu komponen dasar yang terdiri dari resistor, transistor dls, yang juga merupakan suatu komponen yang digunakan sebagai otak dari berbagai perangkat elektronik.
Fungsi Processor
Umumnya processor hanya berfungsi untuk memproses semua informasi data yang diterima dari input, yang kemudian menghasilkan output. Prosesor tidak bisa bekerja sendiri, tetapi membutuhkan dukungan perangkat lain, seperti hardisk dan RAM. Dalam memproses sebuah data bisa dilakukan dengan waktu prosesnya cepat atau lambat itu tergantung pada kecepatan prosesor tersebut. Satuan kecepatan dalam prosesor ialah Mhz (Mega Heartz) / Ghz (Giga Heartz), semakin besar kecepatan sebuah prosesor, maka semakin cepat pula kinerja komputer saat sedang melakukan proses.
Adapun bagian-bagian terpenting dalam sebuah processor antara lain sebagai berikut:
· Aritcmatics Logical Unit (ALU)
Melakukan semua bentuk perhitungan aritmatika / matematika sesuai dengan intruksi programnya. Bagian ALU ini pada dasarnya melakukan semua bentuk logika.
· Control Unit (CU)
Pengatur lalu lintas data seperti input & output. Semua peralatan dalam sistem komputer diatur dan dikendalikan oleh CU.
· Memory Unit (MU)
Alat penyimpanan kecil namun memiliki kecepatan akses yang cukup tinggi.
Jadi, prosesor pada sebuah komputer ini sangatlah penting, karena komponen kecil ini sangat menentukan kecepatan performa dari sebuah komputer yang anda miliki.
Jenis - jenis Processor berdasakan pabrik pembuatnya
1. Processor Intel
Produk ini merupakan produk yang dihasilkan oleh perusahaan IntelCorporation yang merupakan sebuah perusahaan multinasional yang bermarkas di Amerika Serikat dan berdiri sejak tahun 1968, adapun dari tipe - tipe processor yang dihasilkan antara lain :
1. 4004 Micro processor
2. 8008 Microprocessor
3. 8080 Microprocessor
4. 8086 – 8088 Microprocessor
5. 286 Microprocessor
6. Intel 386 TM
7. Intel 486 TM DX CPU Microprocessor
8. Intel Pentium Processor
9. Intel Pentium Pro Processor
10. Intel Pentium II Processor
11. Intel Pentium II Xeon Processor
12. Intel Celeron Processor1999
13. Intel Pentium III Processor1999
14. Intel Pentium III Xeon Processor2000
15. Intel Pentium 4 Processor2001
16. Intel Italium Processor2001
17. Intel Italium II Processor2002
18. Intel Pentium M Processor2003
19. Intel Pentium M 735/ 745/ 7552004
20. Intel Pentium 4 Extreme Edition2005
21. Intel Pentium D2005
22. Intel Core 2 Quad2006
23. Intel Quad Core Xeon2006
24. Intel Core i7 800, i5 dan Xeon 34002009
2. Processor AMD
Sama seperti Intel, AMD merupakan perusahaan semikonduktor multinasional yang bermarkas di Amerika Serikat tepatnya di Sunnyvale, California, Perusahaan ini merupakan perusahaan terbesar kedua setelah Intel Corporation untuk pemasok global mikroprosesor yang berdasarkan arsitektur x86, dan pada tahun 2007, Perusahaan ini menempati peringkat kesebelas dari segi pendapatan. Produk Processor yang dihasilkan oleh AMD antara lain :
1. Opteron ( untuk pangsa pasar server ).
2. AMD FX dan APU A SERIES ( untuk pangsa pasar Desktop ).
3. APU Z SERIES ( untuk pangsa pasar prodak tablet pc ).
3. Processor Apple.
Apple Inc. perusahaan ini sebelumnya bernama Apple Computer, Inc. juga merupakan sebuah perusahaan multinasional dengan pusat kantornya di Silicon Valley, Cupertino, California, bergerak dalam bidang perancangan, pengembangan serta penjualan produk - produk elektronik, komputer pribadi, serta perangkat lunak komputer. didirikan tepatnya pada tanggal 1 April 1976 dan dinamakan secara resmi menjadi Apple Computer, Inc. kemudian 9 Januari, 2007, kata "Computer" dihapus dan fokus pada nama Apple pasca peluncuran produk iPhone. Produkprocessor apple diantaranya :
1. Apple I
2. Apple II
3. Apple DOS
4. Apple Pascal
5. Apple CP/M
6. Apple SOS
7. Apple ProDOS
8. Macintosh
4. Processor Cyrix VIA
Cyrix adalah salah satu perusahaan pengembang mikroprosesor yang berdiri pada tahun 1988,tepatnya di Richardson, Texas. pada tanggal 11 November 1997 perusahaan ini bergabung dengan National Semiconductor. dan kemudian diakusisi oleh VIA pada 1999. Adapun processor yang dihasilkan oleh perusahaan ini antara lain :
1. Cyrix FasMath
2. Cyrix 486SLC dan Cyrix 486DLC
3. Cyrix 5×86
4. Cyrix 6×86 (M1)
5. Cyrix MII
6. Cyrix MediaGX
7. Cyrix MII-433GP
8. VIA C3® Processor
9. VIA CoreFusion™ Processor Platform
10. VIA Eden™ Processors
11. VIA C7® Processor
12. VIA PV530 Processor
13. VIA Nano™ Processor
14. VIA Nano™ X2 Processor
5. Processor IBM
International Business Machines Corporation ( IBM ) merupakan sebuah perusahaan yang berkantor pusat di Armonk, Town of North Castle, New York, Amerika Serikat, yang memproduksi serta menjual berbagai perangkat keras maupun perangkat lunak komputer. IBM sendiri didirikan tepatnya pada tanggal 16 Juni 1911, dan beroperasi sejak 1888, Produk - produk processor keluaran dari IBM antara lain :
1. 8008
2. 8080
3. 8088/8086sx
4. 286
5. 80386 DX
6. IBM 486SLC2
7. Pentium Classic (P54C)
8. Pentium Pro
9. Pentium II Xeon
10. IBM POWER4
11. IBM POWER5
12. IBM POWER6
13. IBM POWER7
6. Processor IDT
IDT ( Integrated Device Technology ) adalah perusahaan yang lebih kecil yang menghasilkan CPU dengan harga murah. berdiri pada tahun 1980 dan berkantor di San Jose, California Amerika serikat, IDT merupakan perusahaan pembuat processor WinChip yang diperkenalkan pertama kali pada Mei 1997, adapun processor yang dihasilkan dari perusahaan ini antara lain adalah :
1. Winchip C6 (0.35 µm)
2. WinChip 2 (0.35 µm)
3. WinChip 2A (0.35 µm)
4. WinChip 2B (0.25 µm)
5. WinChip 3 (0.25 µm)
Processor ialah sebuah IC yang mengontrol dari keseluruhan jalannya sebuah sistem komputer yang digunakan sebagai pusatnya atau otak komputer dengan menjalankan fungsinya dalam melakukan perhitungan & menjalankan tugas.
Langganan:
Postingan (Atom)