Rabu, 27 Januari 2016

karya siswa 2

“Gadis Malang dalam Naungan Sorban”
Oleh : Subhan, S.Pd
(Guru SMAN 1 Besuk)

Bunyi kereta api itu mengagetkan jantungku, seperti bunyi terompet yangseolah berteriak memanggil penumpang untuk segera memasukinya. Aku dan keluargaku yang sudah sejak tadi menunggu, bergegas mendekati kendaraan empat persegi panjang itu.Ibuku mengusap keringat didahinya dengan kerudung merah muda yang ia kenakan waktu itu, karena sejak tadi kepanasan duduk di lantai samping deretan kursi panjang karena tidak kebagian tempat duduk. Serasa terobati setelah sekian lama menunggu, akhirnya kami terangkut juga. Ayah yang sejak tadi telah menghabiskan beberapa batang rokoknya, mengangkat semua tas besar yang kami bawa. Disusul adik yang berlari mengikuti langkah ibu yang tergesa-gesa menuju pintu kereta api. Sungguh perjalanan yang melelahkan, gumamku dalam hati.Aku meninggalkan kampung itu setelah satu minggu tinggal disana, menuai maaf dihari yang fitri dengan sanak famili dari keluarga ibuku. Keluarga yang sudah tidaklengkap lagi, karena bapak dari ibuku,yaitu kakekku sudah meninggal dua tahun yang lalu.Hanya nenekku saja yang masih terlihat sehat walaupun sudah tua.Sekolahku kebetulan libur selama sepuluh hari, jadi kami menghabiskan liburan bersama dikampung dengan sejenak melepaskan pikiran yang sehari-hari terasa penat kami jalani.
Tempat duduk kami didalam kereta tersebut saling berhadapan.Aku satu kursi dengan ayahku, sedangkan ibu duduk satu kursi dengan adikku.Dia memang terlihat manja, diusianya yang sudah beranjak 6 tahun, dia masih tidak bisa lepas dari ibu.Meskipun nakal, aku tetap sayang padanya.Kami selalu main bersama dirumah yang kadang diwarnai dengan pertengkaran kecil hanya karena masalah sepele, yaitu berebut mainan dan makanan.
Kereta mulai bergerak melaju dengan pelan, menyisakan kenangan dikampung yang sejuk dengan semilir angin dan riuh dengan kicauan burung.Cukup hening, karena jauh dari bisingnyasuara mesin sepeda motor dan mobil. Sawahnya yang terbentang luas, sehingga tampak ayunan padi yang sudah mulai menguning, pertanda sebentar lagi akan dipanen oleh pemiliknya. Gelak tawa dan canda, mewarnai perjalanan kami.Lemparan bola adikku tak kudiamkan, bola dan bonekaku kerap kali kulemparkan kewajahnya.Sehingga tampak di dalam ruangan kereta apiitu,ramai dengan teriakan dan gelak tawa kami.
Hari mulai beranjak malam, dengan rintik hujan yang terlihat dan mengembun dibalik kaca jendela kereta yang akutumpangi.Aku usap kaca jendela itu, dan kutatap suasana diluar sana yang tampak mulai sepi. Sayup-sayup suara adzan yang terdengar menggerakkan nuraniku untuk kembali mengingat Sang Kuasa.Keadaan darurat telah menghalangiku, untuk kembali bersujud menghadapnya.Biarlah nanti aku qadha’ saja sholatku sesampainya dirumah.Akuperkirakan, sekitar jam 01.00 nanti kami semua sudah tiba dirumah.
Dari kejauhan, tampak gemerlap lampu seperti kunang-kunangberjajar lurus dan terlihat kabur bila yang tampak lampu yang sedikit agak jauh.Terdengar juga disampingku, suara yang tak asing selalu kudengar bila malam menjelang dirumahku, yaitusuara ngorok ayahku.Tampak pula ibu dan adikku mulai memejamkan mata, terlelap dalam keremangan malam.Terbayar sudah keletihan mereka dalam sandaran kursi kereta itu. Lama juga akududuk terdiam, menatap suasana keremangan malam dengan rintik hujan yang juga masih belum reda diluar kereta sana. Lamunanku terhenti, kala terdengar suara lembut dan serak memanggil disebelahku.
“Ani belum tidur?” terdengar suara ibuku yang terbangun dari tidurnya.
“Belum nih Bu,soalnya masihbelum ngantuk sih,” sahutku menjawab pertanyaan ibu.
“Oh iya, kamu sudah mulai masuk sekolah hari senin depan ini kan?” tanya ibuku lagi.
“Iya, Bu. Masih dua hari lagi.Liburan kali ini Ani hampir tidak membaca buku pelajaran sama sekali, sudah banyak yang Ani lupa tentang pelajaran disekolah, keenakan bermain dikampung sih sama nenek.”
“Ya sudah, nanti kalau kita sudah sampai dirumah, yang rajin ya belajarnya, apalagi sebentar lagi kamu akan ikut Ujian Nasional. Tapi jangan lupa sholatnya yang rajin dan juga banyak berdoa agar hati kita dibukakan oleh Allah,” lanjut ibu sedikit menasehati.
“Iya, Bu. Ani akan belajar dengan rajin serta tidak akan meninggalkan sholat, dan Ani juga akan banyak berdoa supaya nanti ketika ujian diberikan kemudahan,” jawabku membalas nasehat ibu.
“Sekarang sudah malam, lebih baik kamu tidur saja dulu, beberapa jam lagi kita sudah sampai dirumah,” pinta ibu padaku.
“Iya, Bu. Ani akan tidur sekarang,” lanjutku membalas permintaannya.
Aku sandarkan tubuhku dikursi kereta, dan akuikat kerudung yang kukenakan.Tampak ibu terbangun, menggerakkan tangannya dan mengusap lembut keningku.Damai dan teduhnya hatiku, kala kehangatan kasihnya terpancar dari usapan lembut tangannya.Tidak hanya disitu kurasakan kasihnya, ketika dirumah, dia tidak pernah memarahiku tanpa alasan yang jelas. Kalaupun dia marah padaku karena kesalahan yang kuperbuat, iaseolah tidak terlihat marah tetapi seperti memberiku sebuah nasehat. Aku dan adikku, tidak pernah mendapatkan perbedaan dalam mendapatkan kasihnya, ia mampu membagi kasihnya sekalipun dengan ayahku. Dia jarang memintaku untuk membantunya, sekedar untuk menyuruh menyapu rumah atau membantunya mencuci piring. Aku pun sadar diri, sebagai seorang perempuan yang sudah mulai beranjak remajakarena dua bulan lagi umurku sudah genap lima belas tahun, tanpa disuruh aku pun sedikit meringankan bebannya walau hanya menyapu, mencuci piring atau bahkan membantunya mencuci pakaian.
Aku tatap wajahnya penuh kehangatan, terlihat sayu dalam keremangan, terlihat merona dalam kelam dan pekatnya malam.Dia bukan hanya sebagai ibu bagiku, tapi seperti sahabat yang mampu meringankanku dalam kesedihan, tempat berkeluh-kesah ketika aku memiliki masalah, dan berbagi ceria kala kami sedang bahagia.Akulihat jam dipergelangan tanganku sudah menunjukkan pukul 21.00 malam.Semakin hening kurasakan, hanya suara roda kereta yang masih saja tetap berisik diluar sana. Mataku pun juga sudah mulai sayup, sesekali menguap.Tidak berapa lama semua pandangan didepanmataku sudah tak nampak lagi, hilang dalam ketidaksadaran tidurku.Sejenak aku benamkan pikiran dalam rebahan tidurku, untuk membayar semua kelelahan yang kurasakan sejak tadi.Aku tertidur pulas disamping ayahku, diiringi lagu ngoroknya yang terdengar fals ditelingaku.
Lama juga akuterbenam di alam mimpi, melupakan sejenak hiruk-pikuknya kehidupan.Terlelap dalam rebahan keterpaksaan, karena tak ada lagi tempat tidur yang mampu membaringkan tubuhku dengan leluasa, selain sandaran tempat duduk kereta tua kelas bisnis itu.Tiba-tiba, seolah memecah keheningan malam,suara klakson kereta api yang tadi sebelum kami berangkat mengejutkanku, kini kembali mengagetkan jantungku. Kali ini suaranya terdengar lebih keras karena kebetulan kami sekeluarga berada di gerbong kereta deretan depan. Aku beranjak dari tidurku, kemudian bangkit dari rebahan untuk mengetahui apa gerangan yang sedang terjadi. Suara itu seolah mampu menyeruak di kesunyian malam,kemudian disusul oleh bunyi yang juga asing kudengar,“gubrak….!”Bunyi ituterdengar begitu jelas dan keras sekali, seketika itu juga gerbong kereta yang kutumpangi terasa bergetar kuat.Tidak berapa lama dari kejadian tersebut, gerbong pun sedikit oleng dan terpental hingga mampu membalikkan badan kereta tersebut.Dalam kepanikan dan jeritan suara orang-orang di dalam gerbong kereta tersebut, tubuhku ditarik oleh tangan seseorang yang tidak asing kurasakan selama ini.Tidak ada yang bisa didengarselain suara yang menggemuruholeh teriakan dan jeritan.Pandanganku mulai kabur dan tak mampu melihat apapun.Semua terlihat hampa, kemudian hilang dan lenyap dalam kegelapan.
Diriku tak mampu merasai semua yang terjadi, seolah terlelap bersama bidadari malam dalam tidur panjang,entah apa yang sedang terjadi.Terakhir sebelum mataku terpejam, jeritan dan tangisan serta erangan orang-orang digerbong itu tampak jelas kudengar. Lampu digerbong kereta api itu juga padam, sehingga tak terlihat jelas apa yang sedang menimpa kami. Dalam kegelapan, mataku pun juga terpejam seolah tertidur lelap dan tak mampu meraba lagi alam dunia.Semua serasa melayang, terbang jauh tak tentu rimbanya.
Cukup lama aku tertidur, terlelap di alam mimpi.Kumandang adzan kembali aku dengar bersahut-sahutan, sehingga membangunkanku dari ketidaksadarannya tidurku.Terdengar mengalun sangat menentramkan jiwa dan hatiku, menggerakkan nuraniku untuk kembali bangkit dari rebahan, memenuhi panggilan mereka menunaikan sebuah kewajiban.Perlahan kubuka mataku dari pejaman yang seolah terasa berat memisahkan kedua kelopak mataku tersebut.Aku dapati pandangan wajah yang tersenyum sumringah dihadapanku.Wanita muda yang masih asing bagiku mengenakan baju putih dan memakai jilbab putih.Terasa sejuk hatiku menatapnya dengan senyum yang mengembang.“Alhamdulillah…, syukurlah kamu sudah siuman!” celetuk wanita asing tersebut sambil mengusap keningku.Ada yang aneh dengan diriku, kepalaku dibalut oleh sebuah kain dan kudapati pergelangan tangan kiriku ditusuk oleh jarum selang infus.
“Aku dimana, dan ada apa denganku?” dalam kondisi kebingungan, aku tanyakan pada wanita mudayang berdiri didekatku tersebut.
“Alhamdulillah, kamu sudah sadar sekarang.Sudah dua hari ini kamu tidak sadarkan diri,” jawab wanita asing itu.
“Anda,Suster kan? Memangnya apa yang sudah terjadi denganku?” kembali aku tanyakan pada wanita itu.
“Iya, saya Suster dirumah sakit ini.Oh iya, kalau boleh tahu nama kamu siapa dan umurmu berapa?” suster itu kembali bertanya padaku dan tidak menjawab pertanyaan yang aku tanyakan padanya.
“Namaku Ani, Suster. Dua bulan lagi adalah hari ulang tahunku yang kelima belas tahun.Suster masih belum menjawab pertanyaanku tadi…!” sedikit memaksa kembali aku bertanya tentang sesuatu yang terjadi padaku yang sudah kutanyakan padanya tadi tetapi masih belum dijawab oleh suster itu.
“Sudah dulu ya, yang penting kamu sekarang sudah sembuh.Sekarang lebih baik kamu istirahat saja dulu nanti akan Suster ceritakan,” kembali suster itu menjawab tapi tidak memberikan jawaban pasti mengapa aku bisa sampai terbaring di rumah sakit ini.
Aku melihat suster itu mengambil jarum suntik, entah cairan apa yang sedang ia masukkan ke dalam suntikan tersebut. Tiba-tiba ia menghapiriku dan mengusapkan kapas basah dengan cairan dingin dibagian tubuhku, kemudian menyuntikkan jarum suntik itu. Tidak berapa lama setelah jarum suntik itu ditusukkan pada salah satu bagian di tubuhku, pandangan mataku mulai kabur.Seperti kunang-kunang yang seolah berterbangan di kornea mataku.Kembali kegelapan menghampiriku, mengaburkan semua pandangan dalam lelapnya dunia yang tak kuketahui keberadaannya.
Aku heran dan sejenak tercengang, kini anganku terbang melayang lagi dan bermuara disebuah taman yang asri. Aku berada dalam dekapan hangat ibuku, duduk dikursi panjang disebuah taman yang sejuk dan luas. Semilir angin yang halus membelai tubuhku dan akulihat hamparan rerumputan yang menghijau segar tumbuh disekitar taman itu. Pepohonan yang tinggi menjulang, menghalangi sinar mentari yang seolah memaksa menyeruak rimbunnya dedaunan diatas sana. Adikku sedang asik berlarian kesana-kemari mengejar bola yang disepaknya sendiri.Kegirangan, sesekali berteriak kala tendangan kuatnya melempar bola cukup jauh.Aku semakin kuat mendekap pelukan ibuku yang pada waktu itu mengenakan pakaian serba putih laksana bidadari yang turun dari Kahyangan. Kemudian,ia melepaskan pelukanku sembari menatap wajahku cukup lama sekali, penuh arti dan makna yang dalam sekali akurasakan.Wajahnya tampak pucat pasi, namun sanggup menebar senyum walaupun dengan kegamangan.Teruntai dari bibir manisnya beberapa patah kata yang mampu membuatku tertegun.
“Sebentar lagi umur Ani, genap lima belas tahun.Ani kini bukan anak kecil lagi, sudah bisa mengurus rumah dengan baik, mencuci piring, mencuci baju dan menyapu rumah sendiri. Ani harus menjadi anak baik, berbakti pada Ayah danjangan sekali-kali melupakan sholat,” kata-kataitu diucapkan oleh ibu dengan perlahan.
“Memangnya kenapa, Bu?Mengapa Ibu berkata begitu pada Ani?” tanyaku pada ibu sambil menatap matanya yang mulai berbinar dengan air mata yang hampir penuh namun masih tetap terbendung.
“Ibu dan adikmusebentar lagi akan pergi ke suatu tempat yang sangat jauh sekali, yang sudah disediakan untukku dan adikmu.Untuk itu, jaga diri Ani baik-baik dan senantiasa menjadi anak yang baik,” jawab ibuku dengan suara yang mulai agak sedikit serak.Kali ini air matanya tak mampu dibendung olehnya.Seolah banjir bandang yang mengalir deras membasahi kedua pipinya.
“Jadi, Ibu akan meniggalkanku sendirian dirumah. Memangnya Ibu mau kemana, mengapa Ibu akanmeniggalkanku sendirian?Apakah Ani punya salah samaIbu?Ani ingin ikut Ibu, Ani tidak mau ditinggal sendirian,” pintaku pada ibu.
Mataku juga tak mampu menahan deraian air mata yang terurai dikelopak mataku, mengalir membasahi kedua pipiku.Kembali akupeluk erat tubuh ibuku dan mengayunkannya untuk mendesak agar mengajakku turut serta dan tak meninggalkanku sendiri.
Kemudian ibu beranjak dari tempat duduknya, sedangkan tanganku masih mendekap erat tubuhnya.Suasana pilu dan haru yang aku rasakan hari itudan tak mampu merasakan semua keindahan alam disekelilingku waktu itu.Hanya sesenggukan dan perasaan sedih yang teramat sangat yang aku rasakan waktu itu.Ibuku kemudian mengambil tanganku yang mendekap erat dibelakang tubuhnya. Setelah terlepas, ia kemudian memegang kedua pundakku dengan tangan lembutnya dan kembali menatapku dengan sayu.
“Ani jangan bersedih, kepergian ini bukan kemauanku.Tapi, semua ini sudah ada yang mengaturnya. Ani nanti akan tahu sendiri tentang arti semua ini. Sekarang, sudah saatnya Ibu dan adikmu untuk pergi.Jadi, biarkanlah kami pergi dengan tenang.Jaga diri Ani baik-baik, dan berbaktilah pada Ayah.Jangan lupa belajar yang rajin serta jangan meninggalkan sholat, agar Allah sayang pada Ani.Ibu disana akan selalu mendoakan Ani semoga menjadi anak yang sholehah,” tutur ibuku lagi sambil melepaskan genggaman tanganku.
“Ibu mau kemana?Jangan tinggalkan Ani, Bu!Ani tidak mau ditinggal sendirian.Ibu…, jangan tinggalkan Ani, Ibu…….!” teriakku sambil sesenggukan menahan tangis pada ibu.
Perlahan ibu mulai meninggalkanku bersama adikku yang digandeng oleh tangannya.Semakin jauh ibu meninggalkanku, hingga samar-samar tubuhnya akutangkap oleh mataku dari kejauhan.Dengan tangisan dan langkah pastiia meninggalkanku sendirian, berdiri di taman yang luas tanpa seorang pun disana. Aku berteriak untuk kesekian kalinya dan berharap ibuku kembali serta mengurungkan niatnya untuk tidak meninggalkanku. “Ibu jangan pergi…!Jangan tinggalkan Ani, Bu…! Ani ingin ikut Ibu…!”
Entah berapa kali kata-kata itu kuucapkan, hingga akhirnya kuterbangun dari tidur.Aku membuka mataku dan menyadari semua ternyata itu hanyalah mimpi, mimpi yang seolah nyata terjadi padaku.
Ketika aku membuka mataku, akudapati wajah-wajah yang tak asing bagiku sudah berkumpul. Ada nenekku, bibi serta pamanku dan juga saudara sepupuku yang lain. Mereka berkumpul mengelilingi tempat tidurku, kemudian bibi memegang tanganku sembari berkata.
“Ani tadi mimpi apaan? Ani tadi mengigau sangat keras sekali,” tanya bibiku.
“Ani tadi mimpi ibu dan adik pergi meninggalkanku, mereka berdua katanya akan pergi ke suatu tempat yang sangat jauh sekali dan meninggalkanku sendirian disebuah taman yang luas tanpa mengajakku turut serta dengan mereka,” tuturku menjawab pertanyaan bibiku.
Mendengar jawaban itu, aku lihat bibi dan nenekku meneteskan air mata. Air matanya berlinangan, tetapi buru-buru diusapnya.Nampak sekali mata mereka yang memerah, bekas tangisan.Pamanku yang juga berdiri disampingku, hanya terpaku dan menundukdiam seribu bahasa tanpa keluar sepatah katapun.Aku semakin heran saja menyaksikan sikap aneh mereka dan bertanya-tanya dalam hati.Apa gerangan yang sedang terjadi, jangan-jangan ada sesuatu yang tidak beres yang sudah terjadi dengan ibu dan adikku. Dalam keanehan tersebut, aku kemudian bertanya pada mereka.
“Oh iya, Ayah danIbuku dimana, Nek? Saya ingin bertemu dengan mereka!” tanyaku pada mereka seolah memecah keheningan.
Mendengar pertanyaanku tersebut, mereka malah menangis sejadi-jadinya.Nenek yang aku tanya dan berharap akan memberikan jawaban, malah pergi meninggalkanku menuju kursi yang berada di pojok kamarku sambil menahan tangisnya. Hanya bibiku yang memegang erat tanganku dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya mengusap wajahku kemudian mendekatkan wajahnya tepat diatas wajahku.
“Ani jangan bersedih ya…!Ani harus tabah dan sabar menghadapi semua cobaan ini!” jawab bibiku.
“Memangnya apa yang sudah terjadi…? Dimana ayah dan Ibu serta adikku…?Dimana mereka semua sekarang…?” kembali pertanyaan itu aku tanyakan pada mereka.
Sambil menguraikan air mataakutanyakan hal tersebut pada mereka semua yang berada diruangan tersebut.Tetapi mereka semua tidak menjawab pertanyaanku, mereka hanya diam seribu bahasa.Hanya, tangis pilu yang memecah kesunyian ditempat itudan tak mampu menyibakkan seribu pertanyaan yang mengganjal dibenakku.Semakin heran dan penasaran hatiku, semua pertanyaan yang sampai saat ini masih belum terkuak jawabannya.Dengan memaksa dan sedikit mendesak mereka,akutanyakan perihal serupa akan keberadaan ayah, ibu dan adikku. Akhirnya, mereka pun mau terbuka dan memberitahukan semua tentang hal yang terjadi selama ini.Bibi kemudian mengusap air mata yang mengalir dipipiku.Dengan perasaan berat kelihatannya bibiku menceritakan semuanya.
“Baiklah, Ani. Semakin lama akusembunyikan peristiwa ini, semakin tersiksa dan berat rasanya perasaanku.Bagaimanapun perihnya kenyataan ini, Ani harus mengetahui semuanya.Lambat laun Ani pun nantinya akan menerima semua kenyataan ini,” ujar bibiku mengawali pembicaraannya.
“Memangnya apa yang sedang terjadi, Bi?” jawabku mendesak bibi untuk secepatnya memberitahukan tentang kejadian sebenarnya.
“Ani, dalam kecelakaan kereta api tiga hari yang lalu, hanya engkau dan Ayahmu saja yang selamat, sedangkan Ibu dan adikmu meninggal dalam kecelakaan tersebut.Ani harus tabah menerima kenyataan ini, menerima cobaan yang mungkin berat untuk kita jalani semua,” jawab bibiku dengan beruraian air mata dan tangannya membelai lembut wajahku.
“Ani bukan anak kecil lagi sekarang, Ani sudah remaja.Semua ini sudah diatur oleh Allah, manusia hanya menjalaninya.Untuk itu, bersabarlah menghadapi semua cobaan ini, insya-Allahakan ada hikmah dibalik semua ujian ini,” lanjut bibiku menenangkanku yang masih dalam raut kesedihan yang mendalam.
Hari itu, seakan petir menyambar dengan dahsyatnya, meluluhlantakan seisi alam bagiku.Mendengar peristiwa tersebut, aku tertegun cukup lama seakan terlepas dari alam sadarku. Mencoba untuk tidak mempercayai akan kebenaran yang terjadi pada ibu dan adikku. Serasa jiwaku terlepas dari ragaku, antara percaya dan tidak percaya aku tatap wajah orang-orang diruangan itu, seolah mencari kebenaran yang sesungguhnya.Aku dapati mereka hanya terdiam, tidak ada yang memberikan respon padaku, hanya linangan air mata diantara raut wajah mereka yang seolah membenarkan semua cerita yang telah bibi sampaikan kepadaku.
Peristiwa gerbong terbalik di rel kereta api waktu itu, sungguh menjadi sebuah cerita memilukan dalam hatiku. Penopang hidup sekaligus tambatan hati serta tempat berkeluh-kesahku selama ini, akhirnya harus pergi jua menghadap-Nya.Dalam keadaan sedih yang teramat sangat, aku harus menerima kenyataan kalau ibuku yang baik hati dan adikku tersayang harus direnggut dari sisiku.Urat nadiku seakan terputus dan jantungku berdetak kencang kala mendengar mereka semua telah tiada.Air mataku tak henti-hentinya berlinang seolah tak rela melepaskan mereka, tetapi dipaksa harus menerima kepergiannya.
“Ya Allah…!Cobaan apa yang Engkau berikan padaku ini. Sungguh hambamu tak sanggup menghadapi semua kenyataan ini. Mengapa engkau begitu cepat merenggut mereka dari sisiku, meninggalkanku sebatang kara didunia ini. Mengapa Engkau tidak mengajakku turut serta dengan mereka.Mengapa engkau tinggalkan aku disini sendirian,” sambil sesenggukan aku lepaskan uraian air matayang mengalir deras, sedangkan tubuhku terbujur lemas dan tak berdaya.
Tidak terasa, rupanya aku telah tiga hari tertidur pulas diatas kasur rumah sakit itu dan tak sadarkan diri. Aku tidak mengetahui bahwa ibu dan adikku telah meninggal dalam kecelakaan maut kereta api waktu itu. Yang lebih menyakitkan lagihatiku, aku tidak berada disisinya kala itu, hanya sekedar untuk mengantarkan kerandamayat ibu dan adikku di persemayamannya yang terakhir.Aku hanya tertidur lemah di tempat ini dan tak sadarkan diri. Ya Allah…!,rasanya  aku tidak sanggup menghadapi cobaan berat ini seorang diri. Disaat aku membutuhkan kasih sayangnya, disaat aku membutuhkan kehangatan belaiannya, Engkau malah memanggilnya dan pergi dari sisiku untuk selama-lamanya.
Kepiluan seakan telah menjadi milikku waktu itu, tak dapat membayangkan kepada siapa tumpuan kesedihan hati ini akanaku curahkan. Orang yang biasanya mampu menampung semua kesedihanku, kini telah pergi untuk selama-lamanya dan hanya permisi lewat mimpiku.Tatapanku hampa dan anganku seolah buntu menghadapi semua kedukaan ini.Tak mampu memikirkan apa yang akan terjadi denganku kelak, menjalani semua kehidupan ini tanpa ibu disampingku. Kata bibiku tadi, hanya aku dan ayah yang selamat dalam kecelakaan itu. Tetapi sejak aku sadar, aku masih belum melihat wajah ayah dan juga masih belum melihat kondisi ayah seperti apa sekarang.
“Bi, Ayah sekarang dimana…?Dan juga, bagaimana kondisinya sekarang…?” tanyaku pada bibi yang masih duduk disamping tempat tidurku.
“Kondisi Ayahmu baik-baik saja, hanya sedikit ada yang retak dibagian betisdan sekarang masih dilakukan perawatan di ruang patah tulang rumah sakit ini,” jawab bibiku.
Serasa berkurang kesedihan hatiku, karena rupanya Allah masih mempunyai belas kasihan terhadapku.Dia tidak mengambil semua orang yang aku sayangi, orang yang menjadi tumpuan sekaligus menjadi penopang dalam hidupku.Bagaimanapun kejadian ini harus aku terima dan aku hadapi dengan tabah sebagaimana yang diucapkan oleh bibiku.Cukup lama aku termenung, memikirkan kehidupan yang nantinya akan aku jalani. Perjalanan yang masih panjang mengarungi kerasnya kehidupan, yang terkadang kita dihadapkan pada sebuah permasalahan dan kerikil tajam kehidupan yang bahkan mungkin lebih pedih dari kehidupanku saat ini.Hanya dengan kesabaran dan tawakkal kepada Allah serta senantiasa mengharap pertolongan dan petunjuk-Nya, kita semua akan mampu dan sanggup menjalani kerasnya kehidupan ini. Itu adalah pesan yang selalu ibu sampaikan kepadaku melalui nasehatnya disaat kami sedang duduk santai berdua dirumah.Tiba-tiba suster yang merawatku di rumah sakit tersebut, datang dengan senyumnya yang khas untuk memeriksa kondisiku.
“Assalamu ‘alaikum, Ani. Bagaimana kondisi Ani saat ini…?Kelihatannya Ani sudah baikan…?Tapi kok masih murung saja, ayo dong tersenyum…!‘Kan senyum itu ibadah…!” tanya suster itu padaku yang seolah mampu meneduhkan kalbuku.
“Wa’alaikum salam, Suster. Ani kayaknya sekarang sudah baikan,Suster!”Oh iya Suster, Ani ingin ke kamar mandi. Ani ingin buang air kecil,” pintaku pada suster tersebut.
“Oh, Ani ingin pipis ya?Biar Suster ambilkan tempatnya dulu, ya!” jawab suster tersebut.
“Saya mau ke kamar mandi itu, Suster bisa kan membantu saya?” pintaku lagi pada suster itu.
“Ani masih belum bisa bangun, jadi pipisnya ditempat tidur saja dulu ya, tidak apa-apa kok…!” kembali suster itu menjawab.
Suster itu tidak memperkenankanku untuk bangun dari tempat tidur karena kondisiku masih belum stabil.Sedikit kesal juga aku padanya karena dilarang untuk kekamar mandi, dan harus buang air ditempat tidur dengan dibantu oleh alat yang sudah disediakan oleh pihak rumah sakit.Aku merasa ada yang aneh dengan tubuhku.Ada rasa nyeri dibagian ujung betisku ketika aku gerakkan, balutan perbannya juga terasa olehku.Aku tidak dapat melihatnya dengan leluasa, karena selimut putih milik rumah sakit itu menutupi sebagian  tubuhku.
Suster rumah sakit itu kemudian mengambil alat rumah sakit untuk membantuku membuang air kecil diatas kasur.Menurutku memang sedikit agak sulit melakukannya, tetapi karena suster itu sudah terbiasa melakukan pekerjaan tersebut, proses itu dilakukan dengan cepat dan hati-hati. Tetapi, keanehan yang aku rasakan dibagian betis yang ditutupi oleh selimut putih milik rumah sakit tersebut, kini semakin terasa ada yang janggal. Entah apa gerangan yang menyebabkan ujung betisku tersebut ada rasa sakit dan nyeri.
Setelah suster tersebut selesai membantuku buang air besar, suster itu kemudian permisi dan minta izin padaku untuk keluar dan menemui pasien yang lainnya.Perasaanku semakin tidak enak saja dengan rasa nyeri dibagian ujung betisku tersebut.Sedikit merepotkan, aku kemudian minta bibi yang berada disampingku untuk membantuku duduk.Aku minta disandarkan pada tempat tidur rumah sakit tersebut dengan alasan kecapaian karena sudah berhari-hari aku selalu berbaring. Disamping alasan tersebut, sekalian juga nantinya aku dapat melihat dengan jelas sumber rasa nyeri yang ada dikakiku dan juga keanehan apa yang terjadi dengan kakiku tersebut.
Tubuhku pun kini sudah bersandar diujung tempat tidur itu.Aku menatap cukup lama sekali ke kaki kananku, dimana tempat rasa nyeri tersebut berasal. Keanehan tersebut kini semakin membuatku penasaran dan bertanya-tanya, mengapa salah satu ujung kaki kananku ketika ditutupi kain selimut putih itu terlihat rata, tidak sama dengan kaki kiriku yang menggunduk ketika ditutupi selimut. Dengan perlahan aku gerakkan ujung kaki kananku, tapi tak jua terlihat gundukan kaki seperti kaki kiriku.Kembali aku meminta bantuan kepada bibiku untuk menyingkapkan selimut putih yang menutupi kedua belah kakiku. Bibiku terlihat panik dan bingung, akhirnya aku sedikit mendesak sehingga ia mau juga melakukannya. Betapa kagetnya aku saat melihat kenyataan yang sebenarnya, ternyata kakiku telah buntung dan nampak disana balutan perban kain putih melingkar diujung betisku.
“Ani, kakimu terluka parah kemarin dan pihak rumah sakit dengan terpaksa harus mengamputasi kaki Ani yang terluka cukup serius,sebelum luka tersebut semakin parah.Aku juga tidak bisa berbuat apa-apa selain memasrahkan semuanya pada pihak rumah sakit,” terang bibiku memberikan penjelasandengan sedikit terbata.
“Ya Allah….! Cobaan apalagi yang harus aku terima ini.Ibu dan adikku telah Engkau ambil, dan kini harus aku korbankan juga kakiku. Ya Allah…!, sungguh berat cobaan ini harus aku jalani…!” sambil beruraian air mata, kata-kata itu keluar dari mulutku.
“Ani, yang sabar ya, menerima kenyataan ini!Semua ini sudah takdir yang harus kita jalani!”
Belum kering air mataku yang tadi mengalir, menangisi kepergian ibu dan adikku sampai-sampai kelopak mataku sembam karena tangisanku.Kini harus menangis lagi, menangisi kakiku yang sudah diamputasi oleh pihak rumah sakit karena luka yang cukup serius.Begitu berat beban cobaan ini rasanya harus aku jalani, menjalani kehidupan dalam temaramnya masa depanku.Dan kini, air mataku seakan telah habis untuk aku cucurkan, yang tersisa hanya gundukan kesedihan yang menggumpal dan menyesakkan didalam dadaku.
Seolah memecah kegalauan hatiku, tiba-tiba muncul sesosok pribadi yang tersenyum dari arah daun pintu masuk kamar rumah sakit.Seorang pria muda yang tidak asing bagiku, berperawakan tinggi semampai memakai baju batik dan celana hitam.Dia datang bersama Indah, sahabat dekatku dan juga teman-teman sekolahku yang lain.
“Assalamu ‘alaikum, Ani…?” sambil tersenyum pria muda tersebut mengucapkan salam padaku.
“Wa’alaikum Salam…!” jawabku membalas ucapan salamnya.
Samar-samar aku tatap sosok pria muda tinggi semampai itu di pintu masuk kamar rumah sakit.Dengan mata yang seolah sulit aku buka lebar karena sembam oleh tangisanku sejak tadi. Semakin mendekat, tampak jelas sosok pria muda tersebut yang ternyata adalah Pak Subhan, salah satu guru muda di madrasahku yang datang bersama rombongan siswa-siswi yang lain hendak menjengukku dirumah sakit.
“Bagaimana kabar, Ani…?Sudah baikan ya sekarang…?” lanjutnya, menanyakan keadaanku saat itu.
“Beginilah keadaan Ani sekarang, Pak.Sangat menyedihkan sekali.Rasanya Ani tidak sanggup menghadapi semua cobaan ini.Cobaan berat yang harus Ani tanggung sendiri.Disatu sisi, Ani harus menerima kepergian ibu dan adikku, disisi lain Ani harus menerima kalau Ani harus menjadi anak yang cacat seumur hidup,” jawabku sambil sesenggukanyang kali ini tidak mampu mengeluarkan air mata karena telah habis aku cucurkan sejak tadi.
“Ani, kami semua ikut berduka cita atas musibah yang telah terjadi pada keluarga Ani.Aniharus sabar dan tabah dalam menjalani semua cobaan ini, cobaan yang mungkin berat untuk kita jalani,” jawab Pak Subhan yang pada waktu sedang berdiri disamping tempat tidurku.
“Tapi, mengapa harus Ani yang menjalani semuacobaan berat ini.Kalau begitu, Allah sudah berlaku tidak adil terhadap Ani!” jawabku membalas ucapan Pak Subhan penuh kecewa.
“Jangan berkata begitu, Ani…!. Allah bukan tidak adil pada Ani, justru malah sebaliknya.Allah itu sangat sayang pada Ani.Buktinya, Ani sekarang diberikan ujian oleh Allah, itu artinya Allah sangat sayang pada Ani.Cobaan berat itu memang diberikan kepada hambanya yang memang ia kasihi, untuk menguji seberapa kuat ia mampu bersabardan tabah dalam menjalani semua cobaan itu,” jawab Pak Subhan.
“Tapi, Ani tidak sanggup Pak, menjalani semua cobaan ini…!” jawabku dengan sedikit mengeluh.
“Ingat, Ani!Allah telah berfirman dalam al-Quran, “…la yukallifullahu nafsan illa wus’aha”.Saya tahu pastibahwaAni mengerti akanmakna dari ayat tersebut. Jadi, hanya orang-orang yang dicintai oleh Allah sajalah yang diberikan cobaan sekalipun itu cukup berat untuk kita jalani. Karena Allah paham bahwa hambanya tersebut dianggap mampu untuk menanggung semua beban itu, sekaligus sebagai ujian kepada hamba-Nya yang Ia cintai,apakah ia lulusdan tabah imannya dalam menghadapi ujian tersebut atau tidak…!” imbuh Pak Subhan memberikan penjelasan dengan begitu meyakinkanku.
Kali ini, hatiku mulai sedikit reda dari kedukaan yang menggunduk didadaku.Mampu bernafas dari sesaknya paru-paru kekalutan dalam dadaku.Nasehat Pak Subhan cukup memberikan jalan keluar dari buntunya pikiranku, menjadi peneduh dibawah terik culasnya cobaan hidup. Pak Subhan, memang piawai dalam menyiasati semua permasalahanku disekolah selama ini.Tidak hanya aku yang merasa terbantu olehnya, teman-temanku yang lain juga merasakan hal yang sama termasuk sahabat karibku, Indah.
“Ani jangan terlalu larut dalam musibah ini, jalan kita masih panjang. Lebih baik kita tatap saja masa depan kita untuk meraih suatu prestasi yang gemilang dimasa yang akan datang. Ketahuilah, diluar sana masih banyak orang yang mendapatkan musibah dan cobaan yang lebih berat dari yang Ani alami sekarang ini. Semua itu patut untuk kita jadikan pelajaran dan kita ambil hikmahnya.Ani masih bersyukur diberikan kesehatan, tidak cacat seluruh tubuh dan juga Ayah Ani masih tetap hidup. Diluar sana, banyak orang yang sudah terkena musibah dan cacat seluruh tubuhnya. Selain itu, hidupnya hanya sebatang kara karena ditinggal oleh semua anggota keluarganya.Tidakkah masih lebih beruntung Ani daripada mereka?” lanjut Pak Subhan.
Aku hanya terdiam mendengarkan semua nasehatnya.Bagiku, kehadiran Pak Subhan hari itu seolah malaikat yang turun dari surga.Melepaskan semua belenggu dan pasungan kepiluan yang pada waktu itu seolah mengikatku dan mengungkungku cukup kuat serta sulit untuk melepaskannya. Dia mampu menggantikan sosok ibuku yang telah pergi jauh meninggalkanku, menjadi pelipur lara ditengah terjerembabnya semangatku dalam jurang terjalnya keputus-asaan.
“Sekali lagi saya berpesan pada Aniuntuk senantiasa mensyukuri setiap nikmat yang telah diberikan oleh Allah pada kita.Hari ini memang kita dapati bahwa Ani harus kehilangan kaki karena diamputasi oleh dokter. Tetapi perlu diingat, bahwa bagian tubuh yang lain yang masih dimiliki oleh Ani, misalnya matauntuk melihat, hidung untuk bernafas, telinga untuk mendengar, mulut untuk berkata dan merasai setiap makanan yang masuk dalam tubuh kita danakal yang masih utuh untuk berpikir serta nikmat-nikmat dibagian tubuh yang lain yang harus disyukuri keberadaannya. Janganlah kita termasuk salah satu makhluk yang ingkar terhadap nikmat yang masih disisakan oleh Allah yang terdapat dalam diri kita. Sebab janji Allah dalam al-Quran, “….lainsyakartum laazidannakum, walainkafartum inna ‘adzaabii lasyadiid”,yang artinya:“Jika kamu bersyukur atas nikmat yang telah Aku berikan padamu, niscaya akan Aku tambah, dan jika kamu ingkar terhadap nikmat yang telah Aku berikan padamu, ketahuilah bahwa siksaku sangat pedih”. Untuk itu, Ani harus memanfaatkan sisa-sisa nikmat yang telah Allah berikan pada kita dengan cara mensyukurinya. Ketahuilah bahwa setiap kesulitan dan musibah yang kita hadapi, pasti akan ada kemudahan dan secercah harapan untuk kita jalani. Hidup itu tidak selamanya harus menelan rasa pahit, pasti dibalik semua cobaan ini Allah telah mempersiapkan madu untuk kita reguk,” lanjut Pak Subhan mengakhiri nasehat panjangnya.
“Oh iya…., kami tidak bisa berlama-lama disini. Karena saya bersama teman-temanmu yang lain sekarang sudah waktunya pulang sekolah, saya takut orang tua teman-temanmu bingung mencari mereka. Jadi, kami permisi pulang dulu.Ani cepet sembuh ya, biar nanti cepet kembali ke madrasah!” pamit Pak Subhan padaku.
“Iya, Pak. Terima kasih atas kunjungan serta nasehat Bapak yang cukup berarti bagi Ani…!” jawabku.
“Sama-sama, Assalamu ‘alaikum,” ucap Pak Subhan memberi salam sebelum pulang.
“Wa’alaikum salam.”
    Mereka semua kini beranjak pergi meninggalkan rumah sakit.Kehadiran mereka sangat aku butuhkan ditengah-tengah kesedihan yang aku alami sekarang ini.Apalah jadinya diriku, bila Pak Subhan tidak mengunjungiku pada waktu itu.Keadaanku yang seolah jatuh tersungkur dari ketidakberdayaan dan keputusasaan serta diliputi kesedihan yang cukup mendalam.Pak Subhan merupakan salah satu guru muda di madrasahku. Disamping itu, dia termasuk salah satu guru favoritku dan juga favorit teman-temanku yang lain.Kebetulan dikelas kami beliau mengajar mata pelajaran Bahasa Indonesia, tetapi kalau ditanya masalah yang berkaitan dengan soal agama, beliau juga mumpuni dengan masalah tersebut. Guru muda dan tampan serta pintar, wajar banyak yang simpati padanya. Pada hari itu, aku tidak menyangka sama sekali beliau dan teman-teman yang lain akan datang dan mengunjungiku dirumah sakit.
Setelah beberapa hari dirumah sakit, kondisi tubuhku sudah mulai membaik meskipun tidak sepenuhnya pulih.Masih saja ada rasa nyeri dibagian tubuhku, namun sudah mendingan dibandingkan sebelumnya.Aku lihat bibi mulai berbenah diri, seolah bersiap-siap untuk pulang. Paman dan sepupuku yang lain, sudah lebih dulu pulang. Paman harus bekerja dikantor, tidak enak pada atasannya kalau harus cuti kerja cukup lama. Sedangkan saudara sepupuku yang lain, harus sekolah karena takut ketinggalan pelajarannya. Bibi yang sudah beberapa hari ini sudah menemaniku dirumah sakit, terlihat juga akan menyusul mereka. Saya pun juga tidak enak menahan bibiku untuk tetap tinggal disinimenemaniku dirumah sakit ini, meninggalkan tugas dan kewajibannya sebagai seorang ibu rumah tangga dirumahnya.
“Aku lihat kondisi Ani sudah mulai membaik, Ayah Ani pun juga Bibi lihat menunjukkan kondisi yang juga mulai membaik.Jadi, hari ini Bibi mau pamit untuk pulang ke rumah, karena kasihan Paman dan saudara-saudara Ani dirumah tidak ada yang mengurus.Biarlah Nenek saja yang di rumah sakit menemani Ani disini,” ujarbibiku ketika berpamitan pulang.
“Iya Bi,terima kasih karena Bibi telah bersedia menemaniku disini. Saya pun juga tidak bisa berlama-lama menahan Bibi disini, karena saya tahu Bibi punya kewajiban dirumah untuk mengurus Paman dan saudara-saudara sepupuku di rumah, Bibi.”
“Sama-sama, Ani.Jaga diri Ani baik-baik, jangan bersedih lagi.Bibi doakan semoga Ani cepat sembuh biar cepat bersekolah lagi,” pamit bibiku sambil mencium kening dan kedua belah pipiku.
Bibiku kemudian bergegas mengambil semua barang bawaannya yang ia bawa selama ini menuju ke arah pintu, meninggalkanku dan nenekku berdua dirumah sakit. Aku tidak mampu mengiringi dan mengantarkan kepulangannya, walaupun hanya sampai dipintu depan. Hanya ungkapan terima kasih yang terdalam atas semua niat baiknya selama ia menemaniku dirumah sakit.Kini hanya aku berdua dengan nenekku dikamar itu, berbagi cerita dan sesekali tertawa. Kami cukup akrab, karena hanya aku adalah cucu perempuan satu-satunya yang ia miliki karena ketiga anak dari bibiku, semuanya laki-laki. Jadi, hanya aku yang menjadi cucu perempuan semata wayangnya.
Dua puluh hari lamanya aku terbujur lemah dirumah sakit, bukan waktu yang singkat aku menjalani hari-hari dipembaringan rumah sakit itu.Kondisiku juga sudah mulai menunjukkan kondisi yang cukup membaik, begitu juga ayah meskipun tidak sepenuhnya pulih.Tetapi dokter rumah sakit itu, sudah mengizinkan kami untuk dirawat dirumah.Atas izin dokter rumah sakit tersebut, kami pun juga sudah mulai bersiap-siap untuk segera pulang kerumah.Begitu juga dengan ayahku yang sudah terlihat siap dengan kursi rodanya.Aku juga sudah mulai turun dari tempat tidur, meskipun untuk sementara waktu harus menggunakan tongkat.Sebenarnya pihak rumah sakit sudah mempersiapkan alat yang menyerupai kaki untuk menyambung kakiku yang sudah diamputasi, tetapi harus menunggu sampai kakiku betul-betul pulih.
Setelah semua barang bawaan kami siap dan juga proses administrasi rumah sakitselesai kami urus, kami segera bergegas keluar untuk meninggalkan rumah sakit itu, meninggalkan tempat yang pernah menjadi saksi bisu akan kedukaanku yang teramat sangat memilukanku. Suster ramah dan baik itu mengantarku sampai didepan teras rumah sakit.Kali ini, kembali senyum simpulnya yang tersungging manis dan dagunya yang seperti lebah bergantung mengiringi kepergianku.
Sembari melambaikan tangannya suster rumah sakit itu melepasku, sesaat setelah mobil yang kami tumpangi pelan melaju.Tak aku diamkan lambaian tangannya dengan sia-sia.Seolah tanpa diperintah, tanganku juga tergerak dengan membalas lambaiannya hingga samar-samar terlihat dikejauhan.Lenyap sudah bangunan rumah sakit itu dari pandangan mataku, karena mobil yang aku kendarai cukup kencang membawaku pergi.Aku buka kaca jendela mobil yang ada disampingku hingga masuk desiran angin yang mampu memporak-porandakan rambutku yang tadi sudah aku sisir rapi. Aku pandangi semua bangunan dan orang-orang yang sibuk dalam hiruk-pikuknya kota untuk bekerja dan menjalankan aktivitas mereka sehari-hari sekedar untuk mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari.
Cukup lama aku terbaring dirumah sakit, hingga aku merasa kangen dengan teman-temanku disekolah, bercanda dan bermain dengan mereka lagi.Senda-gurau dan canda-tawa mereka yang dulu selalu menghiasi, sejenak terhenti karena liburan dan juga karena kecelakaan yang aku alami.Tetapi, dalam hatiku masih ada perasaan yang gundah.Akankah mereka masih mau menerimaku sebagai teman baiknya, menerimaku dengan kondisi fisikku yang sudah cacat dan sudah tidak sempurna lagi.Perasaan itu selalu menghantui sepanjang perjalanan pulangku hingga tidak terasa setelah sekian lama berjalan, ternyata sampai juga ditempat yang tidak asing aku lalui selama ini.Pertigaan yang mengarah ke arah rumahku tercinta.Tidak banyak yang berubah setelah cukup lama rasanya aku tinggalkan.Terlihat dikejauhan, para tetanggaku sudah mulai berkumpul di halaman rumahku, menunggu kedatangan kami dari rumah sakit.
Sesampainya dihalaman depan rumahku, semua tetanggaku kemudian mendekati mobil yang kami tumpangi. Mereka membantu aku dan ayahku keluar dari mobil, kemudian membawaku masuk kedalam rumah.Ketika sampai diruang tamu, aku memandangi setiap sudut rumahku.Tidak ada yang berubah, masih tetap seperti yang dulu.Kemudian, pandangan mataku terhenti pada foto keluarga yang terpajang didinding rumahku.Sebuah keluarga yang sudah tidak utuh lagi, karena dua orang diantara mereka sudah meninggal dalam kecelakaan kereta api waktu itu. Rasa sedih itu kini menghampiriku lagi, seolah menahan ombak besarnya air mata dipelupuk mataku. Tetapi, terburu-buru dihampiri oleh salah satu tetanggaku hingga menyurutkan air mataku yang hampir akanmenetes.
“Ani, ayo cepat masuk kekamar!Segera berbaring dan istirahat dikamar ya!” ucap tetanggaku tersebut sambil memegang pundakku kemudian memapahku masuk kedalam kamar.
“Oh iya…, ayo!” jawabku membalas ajakan mereka melepaskan semua kesedihan yang akan kembali menghinggapi perasaanku.
Kini aku sejenak membaringkan tubuhku dalam ruangan persegi kamarku, melepas penat yang terasa sumpek dankeblinger dengan bau obat dan alat medis yang ada di rumah sakit.Sesekali tetanggaku masuk ke kamarku, sekedar untuk menyapa dan melihat kondisiku.Setelah suasana cukup sepi, aku punkemudian istirahat dengan tenang hingga malam menjelang dan tidur cukup lelap sampai larut malam.
    Cukup lama aku pejamkan mataku, pulas dalam kepenatan yang sehari-hari tidak bisa tertidur nyenyak di rumah sakit.Kumandang suara adzan subuh, bersahutan disekitar rumahku.Memanggil manusia untuk segera bangkit dari rebahan, tunaikan kewajiban untuk kembali mengingat Sang Pencipta.Perlahan aku membuka mataku sembari mendengar alunan suara adzan yang terdengar syahdu sehingga mampu membuat hatiku bergetar. Menyadari akan dosa diri karena sudah berhari-hari aku tidak menunaikan kewajiban sebagai hamba yang beriman. Aku bangkit dari rebahan untuk mengambil wudhu’.Terlihat disampingku, nenek yang masih tertidur pulas. Entah jam berapa dia tidur semalam, karena aku lihat semalaman ia menjagaku. Aku tidak membangunkannya karena kasihan mungkin masih kecapaian.
Aku beranjak dari tempat tidur kemudian tertatih dengan tongkat yang aku kenakan menuju kamar mandi.Setelah di kamar mandi aku kemudian mengambil sikat dan pasta untuk menyikat gigiku.Aku kemudian mencuci hidungku, membersihkan bagian dalam daun telingaku, membersihkan sela-sela jari tangan dan kakiku karena menurut ilmu fiqih semua itu merupakan sunah-sunah yang harus kita lakukan sebelum kita mengambil wudhu’.
Setelah sunah wudhu’ tersebut selesai aku lakukan, aku membaca niat wudhu’ kemudian mengambil air untuk membasuh mukaku.Terasa hening dan damainya hatiku, karena aku merasa dosa-dosa yang melekat dalam diriku selama ini seolah luntur dan lebur bersama air yang jatuh dari usapan air wudhu’ku. Secara berurutan, bagian tubuhku yang lain juga aku sucikan. Mulai dari kedua tanganku sampai ke siku lenganku, kedua daun telingaku, bagian rambut diubun-ubun kepalaku dan basuhan terakhir dibagian kakiku yang hanya tinggal sebelah. Setelah semua proses wudhu’ itu selesai, terakhir tidak lupa aku membaca do’a sesudah wudhu’ kemudian keluar dari kamar mandi menuju musholla kecil didalam rumahku. Sesampainya didepan pintu musholla tersebut, aku dapati ayahku yang sudah berada disana sedang duduk bersimpuh diatas sajadah yang terhampar, lengkap dengan peci yang ia kenakan sambil memutar tasbih ditangannya.
“Ayah sudah shalat belum?” tanyaku pada ayah.
“Belum, saya memang sengaja belum shalat karena menunggu Ani selesai wudhu’ dulu,” jawab ayahku.
“Oh begitu ya…! Kalau begitu saya pakai mukena dulu ya, Yah!” tandasku kembali pada ayah.
Segera aku ambil mukena yang tergantung di dinding musholla.Mukena itu aku gibaskan dulu sebelum aku pakai, karena sudah lama tidak aku gunakan sehingga terlihat banyak debu yang menempel.Setelah selesai, aku kemudian memberitahukan ayah bahwa aku sudah siap jadi makmumnya.Aku tepat berada dibelakang ayahku sambil menghamparkan sajadah.
Terlihat ayahku memulai shalatnya dengan membaca takbiratul ihram terlebih dahulu.Ada hal yang tidak biasa dilakukan oleh semua orang ketika melakukan shalat berjamaah. Ayahku ketika menjadi imam, tidak melakukan shalat dengan berdiri tetapi dengan cara duduk. Sedangkan aku yang menjadi makmumnya, melakukan shalat dengan cara setengah berdiri atau berdiri dengan menggunakan lutut. Semua itu kami lakukan karena kondisi fisik kami berdua masih belum sembuh total.Cara shalat seperti yang kami lakukan tersebut, diperbolehkan juga oleh agama kita.Sebagaimana yang aku ketahui, jika kita tidak mampu melakukan shalat dengan gerakan sebagaimana layaknya karena kondisi atau keadaan yang tidak memungkinkan, maka kita boleh melakukan shalat dengan cara duduk. Jika kita masih tidak mampu dengan duduk, maka kita boleh mengerjakan shalat dengan cara berbaring. Kalaupun kita juga masih tidak mampu melaksakan shalat dengan cara berbaring, maka kita juga diperbolehkan dengan menggunakan bahasa isyarat mata. Semua tatacara shalat itu aku pelajari dari ibu Lailatul Izzah, guru fiqih di madrasahku.
Setelah selesai shalat, aku kemudian membaca al-Quran.Ayat demi ayat aku lantunkan dengan hati bergetar, serasa menembus Lauhul Mahfudz dan menghentak keheningan subuh dipagi itu.Damai kini kembali bersahabat denganku, menyerunai disela-sela keputus-asaanya perasaanku.Hatiku tertegun ketika mulutku sampai pada bacaan ayat ke 75 surat Thaaha yaitu, “…..wamaiya’tihii mu’minang qad‘amilasshaalihaati faulaaika lahumuddarajaatul’ulaa”. Ayat itu artinya kurang lebih,“Dan barangsiapa datang kepada Tuhannya dalam keadaan beriman, lagi sungguh-sungguh telah beramal saleh, maka mereka itulah orang-orang yang memperoleh tempat-tempat yang tinggi (mulia).”Ayat itu aku ucapkan sampai tiga kali hingga mampu menitikkan air mata.Pagi itu aku memang telah datang menghadap Tuhan, dengan membawa diriku dalam iman yang tak lebih dari hanya sebesar partikel atom yang sangat kecil. Aku adalah manusia yang merasa penuh diliputi dengan dosa yang tak pernah pantas mengharap surga yang memang telah Iajanjikan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman dan beramal saleh.
Surat Thaaha dalam al-Quran tersebut aku baca sampai selesai.Surat tersebut diakhiri oleh ayat yang berbunyi: “…..Maka kamu kelak akan mengetahui, siapa yang menempuh jalan yang lurus dan siapa yang telah mendapat petunjuk.” Kemudian aku tutup al-Quran tersebut usai aku baca, setelah itu aku cium seraya berdoa, “Ya Allah…! Jadikanlah aku termasuk hamba-Mu yang imannya tetap Engkau teguhkan dan senantiasa mendapatkan petunjuk dari jalan lurus yang telah Engkau tentukan, sebagimana dalam bunyi akhir dari ayat yang telah aku baca tersebut.”Tanpa aku sadari ternyata nenek juga sudah berdiri dibelakangku, dia juga hendak melakukan shalat.
“Heh, Ani ko’ ngak ngebangunin Nenek, sih!Nenek kan juga mau shalat subuh!” tuturnya sambil mengeluh padaku karena tidak dibangunin.
“Saya kan kasihan sama Nenek, kayaknya kecape’an karena tidak tidur semaleman!” jawabku memberi alasan pada nenek.
“Bukan gitu caranya, An! Yang namanya shalat itu kewajiban yang harus kita lakukan selagi kita masih mampu melakukannya! Tidur karena alasan kecape’an sehingga tidak shalat, itu namanyakita termasuk orang yang melalaikan shalat, itu namanya dosa lho.Terus bagi orang yang mengetahui kemudian sengaja tidak membangunkannya, juga kena dosa lho!” jawab nenekku sambil memakai mukenanya untuk shalat.
“Iya, Nek. Ani minta maaf, Ani ngaku salah deeeh…!” jawabku penuh rasa salah.
“Ingat, lain kali jangan gitu ya, Ani sayang!” sahut nenekku yang sudah bersiap-siap untuk melaksanakan shalat.
Aku kemudian beranjak dari mushalla dengan tongkat yang masih kukenakan. Perlahan aku melangkah menuju pintu depan rumah setelah itu berdiri didepan teras rumahku. Orang-orang sudah mulai banyak yang berlalu-lalang di depan rumahku. Kebetulan hari itu adalah hari Minggu, sehingga banyak anak-anak yang jalan pagi untuk menghirup udara segar dan juga berolahraga. Sesekali mereka menyapaku, yang sedang asik berdiri di teras depan rumah menyaksikan mereka semua.

**************************

Sepuluh hari sudah sejak kepulangan kami dari rumah sakit berlalu.Kondisiku kini sudah mulai pulih sebagaimana layaknya dan juga sudah mulai menggunakan kaki palsu yang diberikan oleh pihak rumah sakit waktu itu.Sehingga aku tidak memerlukan tongkat lagi untuk berjalan.Ayahku pun juga kini sudah terlihat mulai berjalan normal kembali.Sejak kepulangannya dari rumah sakit, ayah gigih latihan berjalan sehingga normal kembali seperti sekarang ini.
Aku dan keluargaku selama ini hidupnya bisa dibilang cukup harmonis dan kebutuhan hidup kami berkecukupan.Tidak ada permasalahan berarti yang kami hadapi selain kesejahteraan dan ketentraman.Semua anggota keluarga kami menjalankan fungsi masing-masing dengan baik.Ayah yang menjadi kepala keluarga dalam mencukupi kebutuhan kami, kebetulan bekerja sebagai karyawan disebuah perusahaan swasta. Sedangkan ibu sehari-hari sebagai ibu rumah tangga biasa dan bekerja sampingan membuka toko didepan rumah yang sekarang ini terpaksa harus tutup karena tidak ada yang menjaganya lagi. Tugasku di rumah hanya belajar dan menjaga adikku sambil sesekali membantu ibu di dapur, menjaga toko, menyapu rumah dan mencuci baju.
Sepeninggal ibuku, tugas yang aku hadapi ada yang sedikit berubah karena nenekku yang tinggal bersama kami untuk sementara waktu, kini harus menggantikan posisi ibu.Tugasku sedikit menuntutku untuk banyak membantu nenek di dapur dan juga tugas-tugas rumah yang lainnya.Kehidupanku kini menuntutku untuk bisa hidup lebih mandiri dan juga hidup lebih dewasa dari sebelumnya.
Hari ini adalah hari pertamaku masuk sekolah.Ayahku pun juga terlihat sudah siap-siap untuk mulai masuk kerja, setelah beberapa hari terakhir ini harus cuti dari pekerjaanya. Seperti biasa, setiap berangkat sekolah, aku selalu dibonceng oleh ayahku sampai di depan halaman sekolahku. Ketika pulang sekolah, karena waktu pulangnya kami tidak bersamaan, aku terpaksa naik angkot.Semua itu selalu aku lakukan setiap hari selama beberapa tahun terakhir ini.
Sepeda motor yang dikendarai ayahku melaju dengan cukup kencang, hingga mengibaskan jilbab yang aku kenakan karena terbawa oleh angin. Setelah lama berjalan, tidak terasa sampai juga di halaman depan madrasahku. Terlihat anak-anak sudah mulai ramai dan berdatangan menuju gerbang madrasah. Ayah menurunkanku tepat di pinggir jalan depan gerbang madrasahku. Segera aku cium tangan ayahku dan mengucapkan salam sebelum aku masuk. Setelah selesai, ayah kemudian menarik gas sepeda motornya dan melaju kencang meninggalkanku.Aku pun segera bergegas untuk melangkah masuk menuju madrasahku.Terlihat bapak dan ibu guruku sudah berdiri di pintu gerbang madrasah.Pemandangan itu selalu kami temui setiap pagi.Semua itu mereka lakukan untuk menyambut anak-anak yang baru datang.
“Selamat datang kembali di madrasah ini, Ani…! Bagaimana keadaanmu sekarang?Saya lihat keadaanmu sudah mulai membaik?” sapa Pak Sugiyo, kepala madrasahku yang kebetulan pagi itu juga sedang menyambut kedatangan anak-anak di pintu gerbang madrasah.
“Terima kasih, Pak!Keadaan Ani sekarang ini sudah cukup baik, Pak!”
“Kami semua ikut belasungkawa atas musibah yang telah menimpa keluarga Ani.Semoga Ani diberikan ketabahan dan kesabaran dalam menghadapi semua musibah yang telah terjadi tersebut!” lanjut Pak Sugiyosambil mengucapkan belasungkawanya terhadap keluargaku.
“Iya Pak, sama-sama, terima kasih…!” jawabku membalas ucapannya.
“Oh ya…., silahkan langsung ke kelas sebentar lagi bel akan berdering…!”
“Iya Pak, Ani permisi ke kelas dulu! Assalamu’alaikum!” jawabku membalas perintahnya.
“Wa’alaikum salam!”
Aku langkahkan kakiku menuju kelas kesayanganku, melewati gerombolan teman-teman yang sudah mulai memadati madrasahku. Semua mata mereka mengarahkan pandangannya padaku, seolah artis yang akan naik ke atas pentas untuk menyanyikan sebuah lagu rasanya aku waktu itu. Acap kali mereka terdengar ditelingaku sedang menyapaku. Hanya anggukan dan senyuman yang tersungging manis untuk membalas semua sapaan mereka. Ada yang duduk, dan ada pula yang berdiri terlihat sedang asik mengobrol, entah hal apa yang mereka bicarakan. Langkah kakiku terhenti ketika sampai tepat berada didepan pintu kelasku. Aku lihat, Indah sahabat karibku sudah lebih dulu datang daripada aku sedang duduk dibangkunya.
“Hai Ani…! Gimana kabar loe?Gue kangen banget lho ama elloe…! Tambah segeran aja nih…!” sambut Indah yang tampak senang atas kedatanganku ke sekolah waktu itu.
“Ya ginilah, seperti yang loe lihat sendiri sekarang keadaan gue cukup baik bukan…?”
“Eh… eh...! banyak lho yang mau gue ceritain ama loe, pokoknya buanyaaak…. banget dech…!”
“Ngak ada yang berubah lho dari elloe, masih tetep kaya’ yang dulu, tetep heboh boh… boh…!” lanjutku pada Indah penuh canda.
“Gue gitu loch…..! Kalo tidak heboh meulaboh, bukan Indah tuh namanya, tul gak cin…?!” lanjut dia dengan gaya centilnya.
Tidak lama setelah kami ngobrol dan menyapa teman-teman yang lain di kelas, bel sekolah berdering keras memanggil anak-anak untuk bergegas menuju mushola di dalam madrasah kami. Seperti biasa, setiap jam 07.00 kami semua secara bersama-sama sholat dhuha di mushalla tersebut sampai jam 07.30.Setelah itu, kami semua menuju ke kelas kami masing-masing untuk mulai belajar.
Kebetulan, untuk jam pertama di kelasku adalah pelajaran Bahasa Indonesia. Terlihat Pak Subhan sudah berdiri di depan pintu kelas membawa tas dan laptopnya. Wajahnya terlihat lebih segar dari biasanya, berseri-seri dan penuh semangat. Beliau menyapa kami semua dengan ucapan salam dan berdiri didepan mejanya.
“Hari ini telah hadir kembali ditengah-tengah kita, perempuan tegar dan kuat yang sangat patut untuk kita teladani dan kita contoh.Cobaan yang dia hadapi selama ini memang cukup berat untuk dia jalani.Tetapi, dia mampu menghadapi cobaan tersebut dengan tabah dan sabar.Dia adalah Ani Wahdaniyati teman kalian sendiri,” ucap Pak Subhan mengawali pelajarannya.
“Selamat datang kembali di madrasah ini, kami menyambutmu dengan ucapan ‘ahlan wasahlan bikhudurikum’. Semoga kamu dapat belajar dengan baik dan mampu mengukir prestasi kembali di madrasah ini tanpa terus menoleh ke belakang untuk mengingat dan menyesali semua peristiwa yang telah terjadi yang akan kembali membuatmu terpuruk dalam kesedihan. Selagi saya mampu, saya akan membantu dan memecahkan setiap permasalahan yang kalian hadapi,” lanjut Pak Subhan mengahiri ucapan sambutannya atas kehadiranku kembali di madrasah itu.
Motivasiku kini bangkit kembali, setelah beberapa hari terakhir ini terpuruk dalam puing-puing keputusasaan. Guru yang menjadi inspirasiku dalam menggelorakan semangatku dan teman-teman selama ini, menyatakan sanggup untuk membantu memecahkan semua permasalahan yang akan kami hadapi. Semoga Pak Subhan mampu menjadi salah satu motivatorku untuk mengimbangi timbangnya kasih sayang yang telah diberikan oleh orang yang aku sayangi selama ini dan telah pergi jauh dari sisiku.
Aku saat ini kebetulan tercatat sebagai siswi kelas IX C di madrasahku.Secara keseluruhan untuk kelas IX terdapat empat kelas, dua kelas diantaranya kelas putra dan dua kelas lainnya adalah kelas khusus putri. Jam pelajaran di madrasah kami dimulai jam 07.30 pagi setelah sebelumnya shalat dhuha bersama-sama di mushalla. Kami biasanya pulang jam 12.40 kemudian dilanjutkan dengan sholat dhuhur berjamaah di mushalla yang sama sampai jam 13.00, setelah itu kami semua pulang. Rutinitas itu selalu kami lakukan setiap hari, dengan tujuan melatih kami untuk senantiasa terbiasa menjalankan ibadah.
Kini anak-anak sudah berlarian menuju gerbang madrasah untuk segera pulang.Aku dan Indah serta teman-teman yang lainnya juga berjalan menuju pintu madrasah untuk juga pulang.Setelah di pintu gerbang, aku dapati orang tua dari teman-temanku sudah banyak yang menunggu untuk menjemput mereka.Ada yang ditunggu oleh ibunya, oleh bapaknya dan juga oleh kerabatnya Terasa senangnya mereka semua ketika pulang sekolah ada yang menunggui dan menjemputnya. Sedangkan aku hanya diantar oleh ayah ketika akan berangkat sekolah dan ketika pulang sekolah naik angkot tanpa ada yang menjemput. Semua itu sudah aku lakukan sejak aku kelas VII, sehingga aku seolah terbiasa menjalani semua itu tanpa rasa mengeluh. Aku sadar, ayah yang bekerja dikantor dan juga ibu yang juga bekerja menjaga toko di rumah, tidak mungkin sempat untuk selalu menunggui dan menjemputku ketika pulang dari madrasah. Antara rumah dan sekolahku tidak terlalu jauh, jaraknya hanya sekitar 10 kilo meter.
“Heh..., melamun aja…! Apa sih yang dilamunin,  gak mau pulang nih…?, tuh angkot dah berhenti. Ayo…! Mau pulang ngak?” celetuk suara Indah dibelakangku sambil memukul pelan pundakku.
“Elloe tuh…, ngagetin gue aja. Iya dong aku mau pulang, emang mau nginep sini…!”
Kami berdua kemudian masuk ke dalam angkot yang sudah berhenti tepat dihadapan kami.Dalam waktu sekejap saja, angkot yang kami tumpangi sesak dan penuh karena teman-teman kami banyak yang menerobos masuk.Bahkan ada teman kami yang terpaksa tidak jadi ikut karena tidak kebagian tempat duduk.Didalam angkot tersebut, aku merasa gerah sehingga keringatan. Pada waktu itu, matahari diluar sana cukup terik bersinar, sehingga udara tampak panas sekali. Aroma teman-temanku yang tercium oleh hidungku didalam angkot tersebut beraneka-ragam baunya, seperti permen “Nano-nano”.Rutinitas seperti itulah yang aku jalani setiap harinya.
Waktu seolah berjalan begitu cepat, memutar roda kehidupanku melewati-hari-hari.Sore itu, aku dan nenekku sedang asik mengobrol di ruang tamu sambil menunggu ayah pulang dari tempat kerjanya.Hidangan sederhana yaitu singkong goreng tersaji diatas meja.Tidak selang beberapa lama, terlihat ayah sudah berdiri di depan pintu rumah. Ada yang aneh saat aku lihat ayah sore itu.Dia hanya berdiri terpaku dan bersandar pada daun pintu yang sudah ditutupnya.Wajahnya tampak lesu, seolah menanggung beban yang cukup berat.Aku dan nenekku saling berpandangan, tampak kebingungan menyaksikan keadaan ayah waktu itu.Aku kemudian bangkit dari tempat duduk dan perlahan menghampirinya.
“Ada apa dengan ayah?Apa yang sudah terjadi sehingga wajah ayah tampak murung dan lesu?” tanyaku pada ayah yang masih tetap bersandar dibelakang daun pintu.
“Sekarang anak ayah ini sudah besar dan sudah remaja serta mampu berpikiran dewasa untuk menentukan jalan terbaik bagi diri Ani.Tidak ada yang dapat ayah berikan, kecuali hadiah kecil dan tidak berharga ini yang mungkin nilainya tidak seberapa.Hanya ini yang mampu ayah berikan untuk Ani!” jawab ayahku sambil memungut sesuatu dari saku celananya kemudian menyodorkannya padaku.
“Apa ini, Yah?” tuturku sambil membuka kotak kecil yang tadi diberikan oleh Ayah padaku yang ternyata didalamnya adalah sebuah kalung emas.
“Selamat ulang tahun ya, Nak!Semoga panjang umur dan senantiasa dalam lindungan Allah!” lanjut ayahku sambil memeluk tubuhku.Kali ini ayah terlihat menitikkan air mata.
“Terima kasih ya, Yah!” jawabku penuh rasa haru.
Aku menerima hadiah kalung emas yang diberikan oleh ayahku tepat pada hari ulang tahunku yang ke lima belas tahun. Penuh rasa haru dan suka cita aku terima hadiah itu, hingga tidak terasa aku juga mampu menitikkan air mata bahagia.Aku sempat lupa kalau hari itu adalah hari ulang tahunku.Hatiku merasa senang sekali waktu itu.Tetapi aku masih merasa heran dan tidak habis pikir, mengapa wajah ayah masih tampak murung saja.Padahal aku sendiri pada waktu itu dalam kondisi kegirangan merayakan ulang tahunku dengan hadiah yang ayah berikan kepadaku.
Sejenak kemudian ayah melangkah menuju kursi ruang tamu tersebut untuk duduk.Masih juga dia terlihat diam terpaku dan mengarahkan pandangannya pada satu titik yang seolah hampa.Aku kemudian menghampirinya dan duduk tepat disampingnya.
“Ayah…! Ada apa dengan Ayah? Sejak tadi wajah Ayah tampak murung saja. Cerita dong, Yah, sama Ani!” tanyaku pada ayah sambil memintanya untuk menceritakan apa gerangan yang sudah terjadi dengannya.
“Ani, hadiah yang Ani terima dan Ani pakai sekarang itu Ayah beli dari hasil pesangon Ayah. Ayah membelikan hadiah itu karena Ayah takut suatu saat nanti tidak mampu membelikannya lagi untuk Ani,” jawab ayah dengan wajah murungnya.
“Maksud Ayah apaan? Ani masih tidak mengerti!” lanjutku, menjawab perkataan ayah yang masih belum aku pahami maksudnya.
“Hari ini Ayah telah di-PHK dari perusahaan. Jadi mulai besok dan seterusnya, Ayah sudah tidak bekerja lagi diperusahaan,” jawab ayahku dengan sedikit terbata.
Mendengar jawaban ayah tersebut, aku sangat terkejut.Seakan air mata kebahagiaan yang telah aku cucurkan tadi, terhisap kembali oleh mataku.Seketika itu pula wajahku yang tadinya tampak kegirangan dan penuh dengan keceriaan, kini berganti kesedihan.Tubuhku lunglai dan lemas seolah tidak memiliki urat dan tenaga lagi.Otakku tak mampu berpikir jernih, yang ada hanyalah bayangan keburaman masa depanku. Aku tidak mampu berpikir apa yang akan aku lakukan, semuanya seakan buntu dan tak mampu menemukan jalan keluar untuk menyambung kehidupan kami kelak. Karena aku sendiri sadar betul bahwa, selama ini kami hidup dan bergantung dari hasil pekerjaan ayah.
“Ayah, yang mengatur semua rezeki manusia itu adalah Allah, dalam hal ini manusia hanya berusaha.Hari ini Ayah di-PHK, mungkin rezeki yang kita terima sekarang sangat kecil.Tetapi yang harus kita ingat adalah, kita tidak boleh berkecil hati dan juga berputus asa dalam mencari serta mendapatkan rezeki Allah tersebut. Insya-Allah kalau kita tetap berusaha dan senantiasa tawadhu’ kepada-Nya serta kita tidak berputus asa dari nikmat-Nya, niscaya Allah akan memberikan jalan dan kemudahan untuk mendapatkan rezeki lagi ditempat yang lain. Sebagimana pernah diajarkan oleh guru Ani di madrasah, yaitu firman Allah dalam al-Quran yang berbunyi: “……walaa taiasuu min rauhillahi.Innahuu laa yaiasuu min rauhillahi illal qoumul kaafiruun,” yang artinya: “Dan jangan kamu berputus-asa dari rahmat Allah.Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah kecuali orang-orang kafir,” jawabku pada ayah yang seolah terkesan mengguruinya.
“Ani anakku, terima kasih karena engkau telah memberikan Ayah semangat dan juga telah membukakan mata hati Ayah. Ayah senang mendengar semua nasehat Ani. Ayah memang sudah yakin dan menyadari bahwa Ani kini bukan anak-anak lagi serta mampu berpikiran dewasa. Sekali lagi terima kasih telah memberikan nasehat pada Ayah ya, Nak!” jawab ayahku sambil memeluk erat tubuhku.
Hari itu aku terlihat tegar dihadapan ayahku, walaupun sebenarnya didalam hatiku menahan seonggok kesedihan yang teramat sangat. Aku teringat pesan yang disampaikan oleh bibiku dan Pak Subhan sewaktu aku terbaring lemah di rumah sakit, bahwa akan ada hikmah dibalik semua cobaandan ujian yang kita alami. Aku tidak ingin terlihat oleh ayahku terlalu larut dengan kesedihan yang kami hadapi waktu itu, sehingga menambah berat kesedihan yang ayah alami.Aku pura-pura tegar dan tetap tersenyum pada ayah.
Sebenarnya waktu itu aku sangat bingung sekali, hingga terlepas anganku dalam menatap masa depan. Aku yang sekarang sudah kelas IX, tentunya sebentar lagi akan melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih atas lagi. Pikiranku dihantui oleh pertanyaan-pertanyaan yang masih buram adanya. Kira-kira dari mana natinya aku akan mendapatkan biaya untuk melanjutkan sekolahku tersebut. Sebab menurut informasi yang aku dengar dari kakak kelasku dan juga tetanggaku yang kebetulan anaknya melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih atas, biayanya tidak murah.Mulai dari uang SPP, uang seragam dan juga uang buku yang harus dipenuhi cukup banyak.Belum lagi harus membayar uang gedung yang jumlahnya jutaan, yang nilainya cukup besar untuk ukuran ekonomi sekelas keluargaku.
“Ya Allah…, akankah aku sanggup melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi nantinya,menggapai impian dan cita-citaku yang telah aku rajut selama ini.Ya Allah…, aku pasrahkan segalanya pada-Mu.Berikanlah mukjizat-Mu ditengah kondisi kami yang sedang terpuruk ini,” do’aku dalam hati mengharap pertolongan Allah.
Keesokan harinya, kejadian yang menimpa ayahku tersebut, aku ceritakan pada sahabat karibku, Indah dan juga pada guru sekaligus motivatorku yaitu Pak Subhan.Seolah berbagi kedukaan dengan orang-orang yang selama ini mengurangi penatnya beban pikiranku sehingga membuatku mampu dan tegar berdiri ditengah kerasnya ombak dan kerikil tajam kehidupanku.Lagi-lagi aku dapati semangatku seakan tetap berkobar setelah sempat redup oleh bias-bias keputus-asaan dan keterpurukannya batinku dari cobaan hidup yang menguji kesabaran dan keteguhan imanku.
Hidup baru kini telah kami tapaki, menuai secercah harapan dan rezeki yang telah Allah persiapkan untuk kami.Kami sekeluarga kembali membentangkan layar untuk mengarungi samudera kehidupan yang terhampar luas dihadapan kami.Toko yang pernah kami miliki, yang sempat terpaksa harus tutup karena tidak ada yang menjaganya, kini dibuka kembali oleh ayah berbekal modal dari sisa pesangon yang diterima oleh ayah dari perusahaannya waktu itu.
Atas saran Pak Subhan juga, aku dan nenekku memanfaatkan sedikit keahlian yang kami miliki.Kami berusaha membuat aneka makanan kecil dan gorengan yang aku titipkan di warung dan kantin di madrasahku. Kadang kami membuat tempe goreng, tahu isi, pisang goreng, keripik singkong, jagung kembang dan aneka makanan ringan lainnya. Makanan kecil itu aku bawa setiap hari ke madrasah.Hasilnya memang tidak seberapa, tetapi lumayan dapat membantu meringankan kebutuhan ekonomi kami sehari-hari di rumah.
Dimadrasah, selain aku sibuk belajar, aku juga aktif dalam kegiatan OSIS.Selama ini aku aktif dibagian mading yang kebetulan dibina langsung oleh guru Bahasa Indonesia kami yaitu, Pak Subhan.Kegiatan yang berkaitan dengan masalah tulis-menulis bukanlah sesuatu yang asing bagiku.Kegiatan itu aku tekuni karena terdorong oleh hobi yang memang aku gemari selama ini yaitu, menulis.Cukup banyak rubrik yang termuat dalam mading tersebut diantaranya yaitu, cerpen, puisi, opini, artikel, tips-tips, humor, cerita bergambar (cergam), kata mutiara dan masih banyak lagi tulisan-tulisan lainnya.Aku pun juga sering menulis di mading tersebut.
Selain mading, aku juga kebetulan ditunjuk menjadi pengurus di tim redaksi buletin madrasah yang setiap dua minggu sekali terbit. Banyak tulisan-tulisan cerdas dan aktivitas teman-teman serta berita-berita menarik lainnya juga kami terbitkan.Buletin tersebut kami sebarkan ke semua siswa dan lingkungan masyarakat sekitar.Alhamdulillah, sedikit banyak kami harapkan dapat bermanfaat,karena berita yang kami sajikan berisi informasi yang menarik dan bersifat aktual.
Itulah aktivitasku selama beberapa bulan terakhir ini.Aku menyibukkan diri dengan aktivitas tersebut tanpa melupakan belajar dan kewajiban-kewajiban lainnya.Dengan kesibukanku tersebut, aku ternyata mampu melupakan dan membenamkan sejenak semua kedukaan yang pernah aku alami sebelumnya.Banyak yang memuji kalau hasil tulisanku cukup bagus, termasuk juga Pak Subhan. Berkat kemampuan dan keahlianku dalam hal tulis-menulis tersebut, aku sering ditunjuk oleh pihak madrasah untuk mewakili madrasahku mengikuti berbagai jenis bidang lomba seperti, mengarang cerpen, mengarang puisi, membaca puisi, membuat Karya Ilmiah Remaja (KIR), membuat mading dan juga lomba-lomba lainnya baik ditingkat Kecamatan maupun tingkat Kabupaten. Dari setiap lomba yang aku ikuti tersebut, hasilnya cukup memuaskan yaitu rata-rata aku mendapatkan juara satu.
Pada suatu hari ketika jam pelajaran sedang berlangsung, aku dipanggil oleh staf TU madrasahku untuk segera menemui kepala madrasah diruangannya. Aku terkejut sekaligus bertanya-tanya, ada apa gerangan Pak Sugiyo memanggilku. Aku kemudian minta izin kepada guru yang sedang mengajar dikelasku untuk menemui kepala madrasah.Dengan ragu dan langkah yang masih berat aku menuju ke ruang kepala madrasah. Setibanya di depan pintu ruangan kepala madrasah, aku dapati disana ternyata Pak Subhan juga berada diruangan tersebut. Perasaanku semakin tidak enak dan juga was-was, mengapa mereka berdua memanggilku.
“Assalamu’alaikum…!” ujarku memberi salam ketika akan masuk ke ruangan tersebut.
“Wa’alaikum salam, silahkan masuk Ani! Ayo silahkan duduk sini! Ada yang mau kami bicarakan denganmu,” jawab kepala madrasahku dengan bibir tersenyum.
“Kira-kira ada apa ya, Bapak memanggil Ani ke ruangan,Bapak?”
“Begini, kemarin saya menerima surat edaran dari Kementerian Agama Kanwil Provinsi Jawa Timur perihal lomba penulisan cerpen Islami remaja tingkat nasional.Cukup banyak sih, yaitu tiga puluh lima halaman. Setelah saya berembuk dengan Pak Subhan, kami kemudian memutuskan untuk menunjuk Ani mewakili madrasah kita dalam lomba tersebut.Kami yakin bahwa Ani mampu dan bisa membuat cerpen dengan baik untuk kemudian diikutkan dalam lomba tersebut,” jawab kepala madrasahku sambil menjelaskan perihal pemanggilanku ke ruangannya.
“Apa, Pak…? Lomba menulis cerpen tingkat nasional…? Aduh…, Ani bisa ngak ya kira-kira?” jawabku penuh ragu.
“Seperti yang telah saya bilang barusan, berbekal pengalaman yang selama ini Ani lakukan di madrasah ini,berkaitan dengan masalah tulis-menulis, saya sangat yakin kalau Ani mampu membuatnya dan menyelesaikannya dengan baik. Oh iya, nanti yang akan membimbing Ani dalam proses pembuatan cerpen tersebut adalah Pak Subhan,” lanjut kepala madrasahku sambil membujuk dan meyakinkanku.
“Insya-Allah, Pak. Ani akan mencobanya,” jawabku menyanggupi permintaannya.
“Baiklah, nanti sering-seringlah Ani berkonsultasi dengan Pak Subhan bila ada permasalahan dan sedikit kendala dalam proses pembuatan cerpen tersebut. Sekarang, silahkan Ani kembali ke kelas untuk kembali belajar,” lanjut kepala madrasah sambil menyilakan aku kembali ke kelasku.
“Iya Pak, terima kasih.Ani permisi kembali ke kelas dulu.Assalamu’alaikum!” pamitku.
“Sama-sama, Ani.Wa’alaikum salam.”
Aku kemudian beranjak dari ruangan kepala madrasah menuju kelasku. Aku sangat senang sekali hari itu sekaligus juga beban tersendiri karena lomba yang akan aku ikuti tersebut mewakili madrasah, tidak tanggung-tanggung yaitu tingkat nasional. Tiga puluh lima halaman bukan jumlah yang sedikit, butuh konsentrasi dan pemikiran yang luas untuk menyusun sebuah karangan agar menjadi cerita yang menarik. Rasa senang bercampur harap, semoga aku mampu menyelesaikan pembuatan cerpen tersebut dan juga mampu menjadi juara dalam lomba tersebut.
Sepulang sekolah, aku menemui Pak Subhan untuk mengkonsultasikan kira-kira tema apa yang akan aku ambil untuk penulisan cerpen tersebut. Aku menemui beliau di ruang guru.
“Assalamu’alaikum,” sapaku pada Pak Subhan yang sudah siap-siap akan pulang.
“Wa’alaikum salam.Oh, Ani, silahkan masuk!” jawab Pak Subhan sambil mempersilakanku masuk.
“Begini, Pak. Ani masih bingung kira-kira tema apa yang akan Ani angkat untuk cerpen tersebut.Ani saat ini masih blengdengan cerpen yang akan Ani karang,” jelasku pada pada Pak Subhan.
“Oh begitu ya!Sesuai dengan ketentuan yang telah dibuat oleh panitia cerpen tersebut, cerita tersebut diangkat dari kisah keseharian, fiksi dan juga futuristik.Saya sebenarnya sudah punya ide sebelumnya, tetapi itu bergantung dari Ani sendiri kira-kira mau apa tidak dengan ide saya tersebut,” jawab Pak Subhan tetapi masih belum mengatakan secara jelas idenya tersebut.
“Kira-kira, apa ide Bapak untuk tema cerpen yang akan saya karang nantinya, Pak?” tanyaku lagi.
“Saya mempunyai ide untuk memasukkan kisah perjalanan hidup Ani selama ini dalam cerita tersebut.Saya pikir itu cukup menarik untuk dibuat cerpen, cukup orisinil dan juga futuristik.Disamping itu, Ani tidak perlu berpikir lebih luas karena tingkah laku dan kejadiannya tersebut sudah Ani alami sendiri sehingga dengan mudah untuk dimasukkan dalam sebuah cerita,” jelas Pak Subhan ketika menyampaikan idenya.
“Iya juga ya, Pak. Ani ko’ ngak kepikiran kesana ya! Iya dah Pak, nanti akan Ani coba dirumah. Terima kasih atas idenya, Ani permisi pulang dulu.“Assalamu’alaikum,” jawabku sekalian permisi pulang.
“Sama-sama Ani.Wa’alaikum salam.”
Segera aku meninggalkan Pak Subhan.Aku cepat-cepat pergi dari ruangannya karena aku tahu bahwa dia tadi sudah bersiap-siap untuk pulang tetapi terhenti karena aku menemuinya untuk konsultasi masalah cerpen tersebut padanya.
Sepanjang perjalanan pulang, pikiranku kembali mengarah pada kisah hidupku yang dulu untuk menemukan kerangka cerita yang nantinya akan aku tulis sekaligus mencari juga kira-kira judul apa yang tepat untuk cerita tersebut. Aku sesekali tersenyum dan ngomong sendiri didalam angkot yang aku tumpangi tersebut bersama Indah.
“Heh…, elloe dah gila ya…? Senyum-senyum dan bicara sendiri?” sapa Indah yang kebetulan sedang duduk disampingku.
“Eh, elloe ngagetin gue aja.Loe pikir gue udah saraf ya senyum-senyum dan bicara sendiri tanpa arti.Gue tuh sekarang lagi mikir kerangka dan judul karangan karena kebetulan gue ditunjuk mewakili madrasah kita untuk ikut lomba menulis cerpen tingkat nasional. Kebayang ngak sih gimana buatnya, tingkat nasional bo’….! Apalagi jumlahnya tidak sedikit, minimal tiga puluh lima halaman, gimana mikirnya…!” sahutku menjawab tuduhan Indah yang telah menyangka aku gila.
“Sory mayori deh cin….! Gue minta maaf deh…, elloe sih ngak bilang-bilang kalo lagi konsentrasi mikir untuk nulis cerpen.Tapi gue yakin ko’, elloe pasti bisa menyelesaikannya dengan baik.Elloe kan udah pengalaman sering menang dalam lomba,” sahut Indah.
“Dasar emang pikiran loe tuh kotor sih, sehingga mikir gue yang enggak-enggak!” celetukku pada Indah.
Sepanjang perjalanan pulang itu, aku tidak mampu berpikir secara penuh karena harus mendengarkan ocehan Indah. Dia memang senang ngobrol, kalau sudah bersama dia, seharian penuh dia pasti tidak bisa diam, selalu ada saja bahan yang ia ceritakan. Terkadang aku tidak tahan dengan sikap centilnya dia itu, namun terkadang juga aku kangen dengan ocehannya karena dia itu mampu menjadi teman ngobrolku dan juga menghiburku kala aku punya masalah.Aku sering memanggil dia dengan sebutan “cewek lebay” karena sikapnya yang menggemaskan semua orangitu.
Setiap hari aku kerjakan cerpen tersebut.Siang malam yang selalu aku bawa kemana-mana adalah buku dan kertas, untuk menuangkan semua ide dalam pikiranku yang sewaktu-waktu muncul.Aku menyempatkan diri untuk mengarang, ditengah tugas sekolah dan tugas rumah yang seabrek jumlahnya.Aku tidak patah semangat ketika aku mengalami kendala dan menghadapi jalan buntu, aku dengan cepat mengkonsultasikannya dengan Pak Subhan. Hampir semua kendala dalam proses penulisan cerpen tersebut berjalan lancar. Kesabaran dan ketelatenan Pak Subhan dalam memberiku bimbingan dan arahan patut diacungi jempol.
Sepuluh hari lamanya proses pembuatan cerpen tersebut berlangsung. Setelah itu masih melalui proses editing dan pengoreksian naskah secara keseluruhan selama dua hari, barulah cerpen tersebut selesai dengan sempurna. Sebenarnya aku ingin cerpen tersebut cepat selesai, sehingga aku dapat mengerjakan tugasku yang lain dan juga konsentrasi belajar, karena sebentar lagi di madrasahku akan ada ujian akhir semester.
Keesokan harinya, naskah yang telah selesai tersebut kemudian aku serahkan pada Pak Subhan sekaligus meminta bantuannya untuk menyiapkan semua berkas-berkas yang diperlukan dalam proses pengiriman naskah tersebut ke panitia lomba di Jakarta. Setelah lengkap, barulah naskah tersebut dikirimkan. Aku menitipkan pada Pak Subhan untuk membantuku mengurus pengiriman berkas tersebut melalui kantor pos terdekat.Harapan terakhirku adalah semoga cerpen yang aku buat itu menjuarai lomba yang diadakan oleh panitia tersebut.
Kini aku kembali lagi pada aktivitasku yang semula, bergelut dengan tugas sekolah dan tugas rumah lagi.Hari demi hari kujalani kehidupanku, menitikkan tapakan pada rotasi waktu.Aku pun juga telah lupa dengan lomba yang pernah aku ikuti kemarin.Hingga suatu hari, aku dipanggil oleh kepala madrasah untuk menghadapnya.Aku kemudian bergegas pergi untuk menemui kepala madrasah di ruangannya.Di ruangan tersebut kulihat Pak Subhan juga ada disana.
“Assalamu’alaikum,” ujarku memberi salam.
“Wa’alaikum salam. Silahkan masuk Ani…! Ada sesuatu yang ingin kami sampaikan padamu.”
“Iya, Pak. Ada apa Bapak memanggil saya ke ruangan Bapak?” tanyaku.
“Begini, kemarin saya menerima surat dari panitia lomba cerpen di Jakarta. Alhamdulillah, dalam lomba tersebut kamu mendapatkan juara satu diantara sepuluh finalis peserta lomba lainnya.”
“Apa, Pak? Apa Ani tidak salah dengar…? Ani mendapatkan juara satu…?“sahutku dengan riang sembari tidak mempercayai informasi yang baru aku dengar tersebut.
“Iya, Ani. Kamu mendapatkan juara satu dalam lomba tersebut.Kamu tidak salah dengar.Selamat ya…!” jawab kepala madrasahku lagi sambil meyakinkanku bahwa kabar itu benar adanya.
“Alhamdulillah…!”
Dengan wajah senang dan kegirangan aku keluar dari ruangan kepala sekolah.Aku kemudian mencari sahabat karibku Indah di kelas.Setelah ketemu aku kemudian menghampirinya.
“Indah, sahabat gue yang terbaik didunia dan tiada duanya…! Gue menang lomba cerpen, In!Juara satu lagi!” tuturku pada Indah sambil memeluknya kegirangan.
“Yang bener loe, An? Sukurlah, akhirnya sahabatku yang saraf ini menang lomba juga!” celetuk Indah saat kuberitahu perihal kemenanganku dalam lomba tersebut.
“Gila loe.Gue ngak saraf lagi, ello kale yang saraf!” sahutku tidak terima sewaktu aku dibilang saraf.
“Ya udah ngak apa-apa. Tapi yang penting, saraf-saraf gini menang lomba juga khan…!?” jawabnya lagi yang masih tetap menggojlokku.
“Ah, masa’ bodoh lah apa kata loe aja dah. Terima kasih ya atas semua bantuan loe selama ini!” jawabku pada Indah.
“Sama-sama, entar jangan lupa ya traktirannya…!” jawab Indah lagi.
“Iya-iya, tenang aja.Ditanggung beres deh pokoknya, OK!” jawabku pada Indah.
Kabar yang aku terima hari itu sungguh merupakan kabar yang menggembirakanku. Sebenarnya aku tidak menyangka kalau aku yang akan jadi pemenangnya dalam lomba tersebut. Aku sendiri sadar, karena lomba tersebut lingkupnya skala nasional, pasti pesertanya lumayan banyak dari berbagai daerah di seantero Indonesia untuk berkompetisi menjadi pemenang. Tapi kekhawatiranku itu dibayar lain oleh Allah dengan mukjizatnya bagiku yang cukup luar biasa.
Sepuluh hari sejak diumumkannya pemenang lomba tersebut, sepuluh finalis kemudian diundang secara resmi oleh panitia tersebut untuk presentasi sekaligus penyerahan hadiah langsung oleh Bapak Surya Dharma Ali yaitu, Menteri Agama Republik Indonesia.Aku, Ayahku dan Pak Subhan berangkat ke Jakarta memenuhi undangan panitia tersebut.Sungguh pengalaman yang luar biasa dapat bertatap muka langsung dengan Bapak Menteri Agama Republik Indonesia. Wajahnya yang selama ini aku hanya lihat di televisi, kini sudah tampa layar dan tanpa perantara siapapun, aku dapat bertemu langsung dan berbicara langsung dengan beliau. Sungguh pengalaman yang luar biasa yang takkan pernah aku lupakan.
Hadiah yang aku terima waktu itu lumayan besar, yaitu Rp. 10.000.000,-sungguh hadiah yang cukup besar untukku. Selama ini, aku memang kebingungan untuk mendapatkan biaya untuk membayar uang sekolahku nantinya ketika akan melanjutkan ke sekolah tingkat atas. Tetapi Alhamdulillah, rupanya Allah mendengar semua keluh-kesahku selama ini dan menjawab semua do’aku yang senantiasa terpanjat dalam keseharianku.
“Pak Subhan, Ani mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga atas semua bantuan dan bimbingan Bapak selama ini pada Ani. Ani tidak dapat membalas semua jasa Bapak yang tak mampu Ani hitung besar dan jumlahnya!” ucapku pada Pak Subhan usai penyerahan hadiah tersebut.
“Sama-sama, Ani.Sungguh merupakan kesan yang luar biasa dapat membimbing Ani sampai menjuarai lomba tingkat nasional ini.Mungkin ini semua merupakan jawaban dari Allah atas semua cobaan dan ujian yang Ani alami selama ini.Ini semua adalah rezeki Ani yang layak Ani terima. Ingatlah bahwa ketika Allah akan memberi rizki pada kita, datangnya pun kadang tidak dari jalan yang kita sangka sebelumnya, sebagaimana Allah berfirman dalam al-Qur’an,“Wamayyattaqillaaha yaj’alhumakhrojan. Wayarzuqhu min haitsu laa yahtasib” yang artinya: “Barangsiapa bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar untuknya. Dan Dia akan memberi rizki dari arah yang tidak disangka-sangka.”Itulah janji Allah dalam al-Quran pada kita selaku umatnya.Tidakkah janji Allah tersebut sudah terjawab dalam diri Ani sekarang?Disaat Ani membutuhkan biaya yang cukup besar untuk melanjutkan sekolah, sekarang kebutuhan Ani tersebut kini dibayar oleh Allah dengan jalan Ani memenangkan lomba ini,” jawab Pak Subhan dengan sedikit panjang lebar sehingga membuatku tertunduk.
“Iya, Pak. Ani sekarang paham tentang apa yang pernah dikatakan oleh Bapak pada Ani sewaktu dirumah sakit dulu, bahwa setiap cobaan dan ujian yang kita hadapi yang diberikan oleh Allah, pasti akan ada hikmah dibalik semua itu. Ani sekarang sudah paham akan maksud dari semua perkataan tersebut, Pak,” jawabku pada Pak Subhan.
“Oh iya, karena acara sudah usai mari kita siap-siap untuk segera pulang. Sekarang kita langsung ke stasiun mumpung masih sore, nanti kalau kemaleman takut kehabisan tiket,” ajak Pak Subhan pada kami berdua.
Kami semua bertolak pulang dari Jakarta menuju rumah kami dengan membawa sekeranjang kebahagiaan. Pengalaman ini sungguh menjadi pengalaman berkesan dalam hidupku yang akan terkenang untuk selama-lamanya. Tidak selamanya pahitnya cobaan itu akan kita telan, pasti akan ada madu dibalik getirnya cobaan untuk kita reguk.

karya siswa

Juharis & Abdul Hamid
Processor merupakan pusat eksekusi setiap perintah, baik sebuah instruksi ataupun data dalam sistem komputer.
·    Lia Kuswayatno
Processor merupakan sebuah chip yang menjadi pengolah utama dan sebagai pusat pengendali dari berbagai perangkat komputer.
·    Rahmat Putra
Processor merupakan komponen terpenting dalam komputer untuk mengendalikan segala komponen yang ada di dalam komputer, untuk mengolah data & mengeksekusi semua sistem operasi yang telah diinstalkan di dalam komputer.

Prosesor ini terletak di socket yang sudah disediakan motherboard. Processor ini disebut juga “Microprosessor”. Processor merupakan sebuah IC yakni suatu komponen dasar yang terdiri dari resistor, transistor dls, yang juga merupakan suatu komponen yang digunakan sebagai otak dari berbagai perangkat elektronik.




Fungsi Processor
Umumnya processor hanya berfungsi untuk memproses semua informasi data yang diterima dari input, yang kemudian menghasilkan output. Prosesor tidak bisa bekerja sendiri, tetapi membutuhkan dukungan perangkat lain, seperti hardisk dan RAM. Dalam memproses sebuah data bisa dilakukan dengan waktu prosesnya cepat atau lambat itu tergantung pada kecepatan prosesor tersebut. Satuan kecepatan dalam prosesor ialah Mhz (Mega Heartz) / Ghz (Giga Heartz), semakin besar kecepatan sebuah prosesor, maka semakin cepat pula kinerja komputer saat sedang melakukan proses.
Adapun bagian-bagian terpenting dalam sebuah processor antara lain sebagai berikut:
·    Aritcmatics Logical Unit (ALU)
Melakukan semua bentuk perhitungan aritmatika / matematika sesuai dengan intruksi programnya. Bagian ALU ini pada dasarnya melakukan semua bentuk logika.
·    Control Unit (CU)
Pengatur lalu lintas data seperti input & output. Semua peralatan dalam sistem komputer diatur dan dikendalikan oleh CU.
·    Memory Unit (MU)
Alat penyimpanan kecil namun memiliki kecepatan akses yang cukup tinggi.
Jadi, prosesor pada sebuah komputer ini sangatlah penting, karena komponen kecil ini sangat menentukan kecepatan performa dari sebuah komputer yang anda miliki.

Jenis - jenis Processor berdasakan pabrik pembuatnya
1. Processor Intel
Produk ini merupakan produk yang dihasilkan oleh perusahaan IntelCorporation yang merupakan sebuah perusahaan multinasional yang bermarkas di Amerika Serikat dan berdiri sejak tahun 1968, adapun dari tipe - tipe  processor yang dihasilkan antara lain :

1. 4004 Micro processor
2. 8008 Microprocessor
3. 8080 Microprocessor
4. 8086 – 8088 Microprocessor
5. 286 Microprocessor
6. Intel 386 TM
7. Intel 486 TM DX CPU Microprocessor
8. Intel Pentium Processor
9. Intel Pentium Pro Processor
10. Intel Pentium II Processor
11. Intel Pentium II Xeon Processor
12. Intel Celeron Processor1999
13. Intel Pentium III Processor1999
14. Intel Pentium III Xeon Processor2000
15. Intel Pentium 4 Processor2001
16. Intel Italium Processor2001
17. Intel Italium II Processor2002
18. Intel Pentium M Processor2003
19. Intel Pentium M 735/ 745/ 7552004
20. Intel Pentium 4 Extreme Edition2005
21. Intel Pentium D2005
22. Intel Core 2 Quad2006
23. Intel Quad Core Xeon2006
24. Intel Core i7 800, i5 dan Xeon 34002009
2. Processor AMD
Sama seperti Intel, AMD merupakan perusahaan semikonduktor multinasional yang bermarkas di Amerika Serikat tepatnya di Sunnyvale, California, Perusahaan ini merupakan perusahaan terbesar kedua setelah Intel Corporation untuk pemasok global mikroprosesor yang berdasarkan arsitektur x86, dan pada tahun 2007, Perusahaan ini menempati peringkat kesebelas dari segi pendapatan. Produk Processor yang dihasilkan oleh AMD antara lain :

1. Opteron  ( untuk pangsa pasar server ).
2. AMD FX dan APU A SERIES ( untuk pangsa pasar Desktop ).
3. APU Z SERIES ( untuk pangsa pasar prodak tablet pc ).

3. Processor Apple.
Apple Inc. perusahaan ini sebelumnya bernama Apple Computer, Inc. juga merupakan sebuah perusahaan multinasional dengan pusat kantornya di Silicon Valley, Cupertino, California, bergerak dalam bidang perancangan, pengembangan serta penjualan produk - produk elektronik, komputer pribadi, serta perangkat lunak komputer. didirikan tepatnya pada tanggal 1 April 1976 dan dinamakan secara resmi menjadi Apple Computer, Inc. kemudian  9 Januari, 2007, kata "Computer" dihapus dan fokus pada nama Apple pasca peluncuran produk iPhone. Produkprocessor apple diantaranya :

1. Apple I
2. Apple II
3. Apple DOS
4. Apple Pascal
5. Apple CP/M
6. Apple SOS
7. Apple ProDOS
8. Macintosh

4. Processor Cyrix VIA
Cyrix adalah salah satu perusahaan pengembang mikroprosesor yang berdiri pada tahun 1988,tepatnya di Richardson, Texas. pada tanggal 11 November 1997 perusahaan ini bergabung dengan National Semiconductor. dan kemudian diakusisi oleh VIA pada 1999. Adapun processor yang dihasilkan oleh perusahaan ini antara lain :

1. Cyrix FasMath
2. Cyrix 486SLC dan Cyrix 486DLC
3. Cyrix 5×86
4. Cyrix 6×86 (M1)
5. Cyrix MII
6. Cyrix MediaGX
7. Cyrix MII-433GP
8. VIA C3® Processor
9. VIA CoreFusion™ Processor Platform
10. VIA Eden™ Processors
11. VIA C7® Processor
12. VIA PV530 Processor
13. VIA Nano™ Processor
14. VIA Nano™ X2 Processor

5. Processor IBM
International Business Machines Corporation ( IBM ) merupakan sebuah perusahaan yang berkantor pusat  di Armonk, Town of North Castle, New York, Amerika Serikat, yang memproduksi serta menjual berbagai perangkat keras maupun perangkat lunak komputer. IBM sendiri didirikan tepatnya pada tanggal 16 Juni 1911, dan beroperasi sejak 1888, Produk - produk processor keluaran dari IBM antara lain :

1. 8008
2. 8080
3. 8088/8086sx
4. 286
5. 80386 DX
6. IBM 486SLC2
7. Pentium Classic (P54C)
8. Pentium Pro
9. Pentium II Xeon
10. IBM POWER4
11. IBM POWER5
12. IBM POWER6
13. IBM POWER7
6. Processor IDT
IDT ( Integrated Device Technology ) adalah perusahaan yang lebih kecil yang menghasilkan CPU dengan harga murah. berdiri pada tahun 1980 dan berkantor di San Jose, California Amerika  serikat, IDT merupakan perusahaan pembuat processor WinChip yang diperkenalkan pertama kali pada Mei 1997, adapun processor yang dihasilkan dari perusahaan ini antara lain adalah :

1. Winchip C6 (0.35 µm)
2. WinChip 2 (0.35 µm)
3. WinChip 2A (0.35 µm)
4. WinChip 2B (0.25 µm)
5. WinChip 3 (0.25 µm)


Processor ialah sebuah IC yang mengontrol dari keseluruhan jalannya sebuah sistem komputer yang digunakan sebagai pusatnya atau otak komputer dengan menjalankan fungsinya dalam melakukan perhitungan & menjalankan tugas.